Selasa, 29 November 2011

Mengenang Cinta Sebelum Ajal Tiba

Suatu malam ketika Ardi pulang ke rumah, istrinya menghidangkan makan malam untuknya, sambil memegang tangannya Ardi berkata; “Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Bene, istrinya lalu duduk disamping sambil menemani Ardi menikmati makan malam dengan tenang. Dari raut wajah dan matanya nampak Bene sedang menahan luka batin yang dalam.



Mendadak Ardi terdiam tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya enggan keluar dari mulutnya. Akan tetapi ia harus membiarkan istrinya mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku ingin sebuah perceraian diantara kami". Ardi lalu memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang. Nampak istrinya tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraan Ardi, dia malah balik dan bertanya kepadaku dengan tenang, "Mengapa?"



Ardi menolak menjawabnya. Ini membuat Bene sungguh marah kepada Ardi, ia menghempas sendok dan garpu ditangannya dan mulai berteriak kepada suaminya, “Engkau bukan seorang laki-laki sejati.” Malam itu mereka tidak saling bertegur sapa. Bene terus menangis dan menangis. Ardi tahu bahwa istinya ingin mengetahui alasan dibalik keinginan Ardi untuk menceraikannya. Tetapi Ardi dapat memberinya sebuah jawaban yang memuaskan; “Dia telah menyebabkan kasih sayangku hilang terhadap Antie (wanita simpananku). Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya kasihan kepadanya”



Masih menyisakan sebungkah perasaan bersalah yang dalam, Ardi membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Bene dapat memiliki rumah mereka, mobil dan 30% dari keuntungan perusahaan mereka. Bene sungguh marah, merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersama Ardi kini telah berubah menjadi orang asing di rumah mereka, khususnya di hati Ardi. Ardi meminta maaf untuk itu semua, untuk waktunya yang telah terbuang selama 10 tahun bersamanya, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadanya, tapi Ardi tidak dapat menarik kembali apa yang telah dikatakannya kepada Anti bahwa ia sungguh mencintainya. Bene menangis dengan suara keras di hadapan Ardi, peristiwa yang diharapkan Ardi terjadi pada istrinya. Bagi Ardi tangisan Bene tidak mempunyai makna apa-apa. Keinginannya untuk bercerai di hati dan pikirannya telah bulat dan ini semua harus dijalankan.



Keesokan harinya, malam telah larut ketika Ardi kembali ke rumah, didapatinya Bene sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur. Ardi tidak menyentuh makan malam tapi langsung beranjak tidur karena kantuk yang tak tertahankan setelah lelah bercengkrama dengan Anti, wanita idamannya saat itu. Ketika terbangun didapatinya Bene masih bertekun menulis di meja yang sama. Ardi cuek dan kembali meneruskan tidurnya.

Selepas malam Bene menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepada Ardi; Dia tidak menginginkan sesuatupun dari Ardi, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum percerain untuk saling memperlakukan sebagai suami-istri dalam arti sebenarnya. Bene meminta Ardi dalam sebulan itu harus berjuang bersamanya untuk hidup normal layaknya suami-istri. Alasannya sangat sederhana; “Denny, anak kita akan menjalani ujian dalam bulan ini, aku tak ingin Denny terganggu karena rencana perceraian ini”



Ardi setuju dengan syarat-syarat yang diberikan Bene. Akan tetapi Bene juga meminta beberapa syarat tambahan sebagai berikut:
"Dalam rentang waktu sebulan itu, engkau harus mengingat kembali bagaimana pada permulaan pernikahan kita, engkau harus menggendongku sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kita. Engkau harus menggendongku dari kamar tidur sampai di muka pintu depan setiap pagi selama sebulan sebelum tanggal perceraian".
"Gila kali ini orang!", pikir Ardi.
"Tapi gak apalah, biar kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah untuk memenuhi permintaannya kepadaku demi meluluskan perceraian kami", gumamnya



Ardi menceritakan hal itu kepada Antie tentang syarat-syarat yang ditawarkan oleh istrinya. Anti tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh dan tak bermakna.
"Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan", seru Antie dengan nada merendahkan.



Ardi dan Bene tak lagi berhubungan badan layaknya suami-istri selama waktu-waktu itu. Sehingga sewaktu Ardi menggendongnya keluar menuju pintu rumah pada hari pertama, mereka tidak merasakan apa-apa. Denny melihatnya sambil bertepuk tangan di belakang kami, lalu berkata, "Wow…papa sedang menggendong mama. Kata-kata putranya sungguh membuat luka di hati Ardi.



Dari tempat tidur sampai di pintu depan Ardi menggendong dan membawa Bene sambil tangannya memeluk erat Ardi. Dia menutup mata sambil berkata pelan; “Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Sedang Ardi mengendarai mobil sendirian ke kantor.



Pada hari kedua, mereka berdua melakukannya dengan lebih mudah. Bene merapat melekat erat di dada Ardi.
"Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan pakaianya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan saksama untuk waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda lagi seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil di raut wajahnya, rambutnya mulai beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu" Begitu rasa yang melintas dalam hati Ardi. Untuk beberapa menit ia mencoba merenung tentang apa yang telah diperbuat kepada istrinya selama perkawinan mereka.

Di hari keempat: "Ketika aku menggendongnya, aku merasa sebuah perasaan kedekatan/keintiman yang mulai kembali merebak di relung hatiku yang paling dalam. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku". Rasa itu muncul lagi namun lebih kuat dari hari sebelumnya. Pada hari keenam dan ketujuh: "Aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tidak mau mengatakan perasaan seperti ini kepada Antie. Aku pikir ini akan lebih baik karena aku hanya ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa menikah dengan wanita yang sekarang aku cintai, Antie."



"Pagi ini aku memperhatikan ketika suatu pagi dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, bahwa semua pakaiannya terasa terlalu besar untuk tubuhnya sekarang. Aku kemudian menyadari bahwa dia semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa aku dapat dengan mudah menggendongnya pada hari-hari itu" gumam Ardi dalam hati.



"Tiba-tiba kenyataan itu sangat menusuk dalam di hati dan perasaanku…Dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya". Ardi lalu mengulurkan tangannya dan menyentuh kepala Bene.



Entah dari mana, tiba-tiba Denny muncul pada saat itu dan berkata, “Papa, sekarang waktunya untuk menggendong dan membawa mama” Bagi Denny, menggendong dan membawa ibunya keluar menjadi sesuatu yang penting dalam hidupnya. Bene mendekati Denny putranya dan memeluk erat tubuh itu penuh keharuan. Ardi memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan karena takut situasi istri dan putranya akan mempengaruhi dan mengubah keputusannya untuk bercerai pada saat-saat akhir memenuhi syarat-syaratnya. Ardi lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangan istrinya melingkar erat di leher suaminya dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis satu dengan yang lain. Ardi pun memeluk erat tubuh Bene; dan ini seperti moment hari pernikahan mereka 10 tahun yang lalu.



Akan tetapi tubuh istrinya yang sekarang ringan membuat Ardi sedih. Pada hari terakhir, ketika ia menggendongnya dengan kedua lengannya ia merasa sangat berat untuk menggerakkannya walaupun cuma selangkah ke depan. Denny telah pergi ke sekolah. Ardi memeluk erat Bene sambil berkata: "Aku tidak pernah memperhatikan selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan keintiman/keakraban satu dengan yang lain". Ardi mengendarai sendiri kendaraan ke kantornya….melompat keluar dari mobil tanpa mengunci pintunya. Ia sangat takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Ia naik ke lantai atas. Anti membuka pintu dan Ardi berkata kepadanya, Maaf, Anti, Aku tidak ingin menceraikan istriku.



Antie memandanginya penuh tanda tanya bercampur keheranan, dan kemudian menyentuh dahi Ardi dengan jarinya. "Apakah badanmu panas?" kata Antie. Ardi mengelak dan mengeluarkan tangan Anti dari dahinya. "Maaf Antie, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memakna secara detail setiap moment kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari bahwa sejak aku menggendong dan membawanya setiap pagi, dan terutama kembali mengingat kenangan hari pernikahan kami aku memutuskan untuk tetap akan menggendongnya sampai hari kematian kami tak terpisahkan satu dari yang lain". Antie sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras dan mulai meraung-raung dalam kesedihan bercampur kemarahan terhadapku. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah tokoh bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk Bene istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis; “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”



Sore hari ketika tiba di rumah, dengan bunga di tangan, sebuah senyum indah di wajah, Ardi berlari kecil menaiki tangga rumahnya, hanya untuk bertemu dengan istrinya dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan mereka, tapi apa yang ditemukan? Bene istrinya telah meninggal di atas tempat tidur yang telah mereka tempati bersama selama 10 tahun pernikahan mereka. Bene telah berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuan Ardi karena kesibukan Ardi menjalin asmara dengan Anti. Bene tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat akibat kanker ganas itu, dan ia ingin menyelamatkanku dari apapun pandangan negatif yang mungkin lahir dari Denny sebagai reaksi atas kebodohan Ardi sebagai seorang suami dan ayah, terutama rencana gila dan bodohnya untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun mempertahankan pernikahan dan demi putra semata wayang…



----sekurang-kurangnnya, di mata Denny – Ardi adalah seorang ayah yang penuh kasih dan sayang….demikianlah makna dibalik perjuangan Bene.

Ditilang Polisi, dan Polisi itu Temanku

Ditilang Polisi, dan Polisi itu Temanku

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau.
Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat.
Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah
biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang.
Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa
melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah
menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku
tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil
terus melaju.
Prit!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya
berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam
hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu
asing.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jon." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah.."
"Oh ya?"
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.
"Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."
Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.
"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala."
Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
"Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."
Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan
menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku
tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono
memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu
sedikit.
Ah, celah lima cm sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa
berkata-kata Bobi kembali ke posnya.. Jono mengambil surat tilang yang
diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata
SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku.
Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan
membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

"Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak
perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut
menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan.
Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi.
Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha
dan berharap agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak agar dapat
kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa
sulitnya. Begitu juga kali ini.. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan
kami terkabulkan. Berhati-hatilah. Salam, Bobi".

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun,
Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan
pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap
kesalahannya dimaafkan... ....
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain.
Sesuatu yang nampaknya adalah hal remeh-temeh bagi kita namun di sisi lain begitu bernilai bagi orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat
berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

Kamis, 11 Agustus 2011

Karena Terlalu Lama Dijajah

Setiap memasuki bulan Agustus, ingatan kita sebagai orang Indonesia atau bekas orang Indonesia biasanya akan merujuk pada sebuah momen yaitu peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Mungkin yang sering muncul di benak kita adalah pesta rakyat dengan segala perlombaan dan keriaannya.
Kita senang, kita bergembira dan kita merayakan kebebasan dari belenggu penjajahan baik Belanda maupun Jepang jaman dahulu. Pada jaman penjajahan, orang tidak bebas untuk melakukan sesuatu, pihak penjajah membatasi akses informasi juga kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dibatasi dan diawasi. Masyarakat kelas bawah lebih menderita terutama karena akses yang minim kepada sumber daya yang menunjang kehidupan paling dasar seperti sandang, pangan dan papan.
Memasuki masa pasca kemerdekaan, masyarakat lebih bebas namun ketakutan-ketakunan di tengah-tengah masyarakat makin menjadi-jadi betapa tidak setelah proklamasi keadaan menjadi serba tidak menentu, huru-hara terjadi di mana-mana karena tidak jelas siapa yang jadi penguasa. Pemerintahan yang baru belum terbentuk. Masyarakat menjadi sangat ketakutan tidak ada yang bisa dipercaya atau diandalkan.
Karena terlalu lama dijajah juga sesudah itu kita biasa berada dalam keadaan tidak menentu sampai hari ini. Hal ini membuat kita menjadi sulit percaya kepada orang lain, walaupun orang lain tersebut bermaksud baik dan tulus kepada kita. Para ahli menyebutnya sebagai low trust society.
Contoh paling gampang saja kalo kita berbelanja ke pasar tradisional atau ke pasar-pasar lainnya dimana tawar-menawar harga diperbolehkan, kita secara naluriah pasti berusaha menawar hingga mendapat harga yang paling rendah. BAhkan di toko-toko yang sudah memasang banderol pun kalo harganya masih bisa ditawar kenapa tidak dicoba.
Memasang teralis di jendela atau di pintu (sebagai pintu serangga atau pintu besi), memasang pagar rumah menjadi suatu yang lumrah di negeri ini demi keamanan, walau seringkali logikanya maling/pencuri yang semestinya berada di balik teralis bukan kita.
Jika kita masuk ke gedung-gedung perkantoran atau ke mal kita harus diperiksa termasuk barang-barang bawaan kita, demi keamanan takut jika siapa tahu kita yang membawa bom. BAhkan lebih miris lagi saat hendak mengikuti misa Natal atau Paskah kita diperiksa berikut barang-barang bawaan kita. Atau di kalangan saudara-saudara kita yang muslim ada gurauan, sandal aja di masjid bisa hilang apalagi kalo di masjid ada pianonya.
Saat kuliah kami dibekali dengan dua jilid mata kuliah yang berkaitan dengan konstruksi bangunan, sang dosen menekankan supaya kita menguasai mata kuliah tersebut dengan agar supaya kita tidak diakali oleh insinyur bangunan saat nanti merancang bangunan pengolahan limbah, di satu sisi memang ada baiknya tetapi kadang terbersit juga lho kalo insinyur bangunan yang mengakali kita kenapa tidak mereka yang disalahkan kan itu sudah tugas mereka untuk merancang bangunan yang kuat dan sesuai budget yang disediakan. Mereka yang korup koq kita yang disalahkan? Setelah ada pembaruan kurikulum mata kuliah yang saya sebut di atas akhirnya dilebur menjadi hanya 1 jilid.


Lalu bagaimana?
Akhirnya yang dapat kita lakukan di saat ini. Kita harus berusaha sedemikian rupa menjadi orang yang dapat dipercaya. Klasik sebenarnya kalo ditimbang-timbang, tapi menurut saya itulah jalan satu-satunya. Berusaha untuk jujur apa adanya terutama terhadap diri kita sendiri, berusaha menepati janji, atau kalaupun tidak bisa menepati janji paling tidak memberitahu bahwa saya tidak bisa menepati janji karena ini dan itu dan masuk akal. Tapi juga yang penting adalah tidak berusaha mencari-cari pembenaran atas kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan agar. Tidak berusaha memutar balikkan logika untuk mencari pembenaran atas apa yang memang sudah salah.
Katamu ya hendaknya ya, tidak hendaknya tidak, apapun di luar itu berasal dari si jahat.

Selasa, 31 Mei 2011

Malam Gelap Sukma

Kala kita berhadapan dengan kesulitan dalam hidup kita mungkin beberapa dari kita mengahadapinya atau ada juga yang lari dari kesulitan tersebut. Kalaupun kita memilih untuk menghadapi kesulitan tersebut kita masih dapat memilih apakah kita akan menghadapinya dengan keras kepala atau dengan lemah lembut?

Pada tahun 2008 terbit sebuah buku dengan judul Come Be My Light. Buku ini merupakan kumpulan catatan dan surat-surat yang ditulis oleh Ibu Teresa. Yang menarik dari buku ini adalah bahwa dalam catatan-catatan dan surat-suratnya kita menemukan bahwa seorang Ibu Teresa kerap kali berada dalam keadaan yang disebutnya Malam Gelap Sukma atau The Dark Night of The Soul. Keadaan dimana jiwa dan hati mengalami kekosongan, kekeringan, kesendirian dan ketersiksaan. Seolah Tuhan jauh meninggalkan kita. Pengalaman seperti ini menjadi bagian yang harus dihadapi oleh semua orang yang mengimani Tuhan. Seringkali kita merasa bahwa Tuhan abai atau absen saat kita membutuhkan pertolongannya, bahkan Yesuspun pernah merasakan absennya Sang Bapa pada saat Ia mengalami puncak penderitaanNya di kayu salib.

Eloi, Eloi lama sabakhtani. Yesuspun merasakan kegelapan sukma justru di saat penderitaanNya mencapai titik kulminasi. Pada saat Yesus memasuki kegelapan sukma kodrat kemanusiaanNya mencapai kepenuhannya. Dosa-dosa seluruh umat manusia ditimpakan padaNya kala teriakanNya memecah keheningan dan ketertegunan orang-orang yang berdiri menatapNya. Mengapa Allah Bapa tega meninggalkan Anak yang dikasihiNya? Kemanusiaan atau kedagingan yang penuh dosa menjadi sebab mengapa Allah Bapa menolak Yesus. Tapi Yesus dengan kemanusiaannya malah mengambil alih dosa-dosa manusia tersebut.

Saat kita mengakui dan menerima Yesus sebagai juruselamat kita, kita dihadapkan pada pada sebuah tawaran untuk menyangkal diri dan memikul salib. Artinya bahwa kita harus menjalani proses yang sama dengan apa yang dialami oleh Yesus yaitu memanggul salib kita masing-masing, menghadapi dan menjalani kekosongan, kekeringan, kesendirian dan ketersiksaan. Segala penderitaan yang kita alami dan kita rasakan telah menjadi semacam minyak yang membuat pelita Yesus tetap bernyala, Ibu Teresa dalam sebuah tulisannya menulis:
“Jagalah nyala pelita itu, yang telah disulut oleh Yesus dalam diri Anda dengan minyak kehidupan Anda. Nyeri di punggung Anda – penderitaan yang Anda rasakan adalah tetes-tetes minyak untuk membuat pelita Yesus tetap bernyala untuk mematahkan mantra kegelapan dosa ke mana pun Anda pergi. Jangan berbuat apa pun yang akan menambah rasa nyeri-terima saja dengan senyum lebar betapapun sedikit yang Ia berikan dengan cintaNya yang besar. Pelita itu telah dinyalakan Yesus pada saat kita memilih untuk mengikutiNya”.

Kala menelusuri kegelapan yang sarat dengan derita yang mencekam dan berkepanjangan, Ibu Teresa tetap teguh dan setia pada panggilannya, mempersembahkan diri tanpa henti dan dengan segala keceriaannya pada misi yang dipercayakan kepadanya. Ia tetap teguh dengan segala daya untuk menunjukkan cintanya kepada Yesus, kekasih jiwanya dan untuk memberikan suka cita kepadaNya melalui semua yang ia perbuat kendati harus mengatasi kepedihan karena rasa “tidak dicintai dan tidak diinginkan” oleh Yesus

Kembali kepada jalan penderitaan Yesus menuju Kalvari ada hal yang menjadikan Yesus kemudian berbeda dari manusia pada umumnya, sesudah pertanyaan gugatan terlontar nyaring dari mulutnya kalimat yang berikutnya terucap dengan lirih dari mulutNya adalah: “Ke dalam tanganMu Kuserahkan jiwaku”. Dan setelah itu Ia wafat di kayu salib. Kepasrahan total, setia hingga akhir.

Senin, 21 Maret 2011

Berbagi Walau Cuma Koin Receh

Pernah di suatu masa saya berteman dengan seorang yang boleh dikata kaya dalam arti punya mobil mewah, punya rumah mentereng lengkap dengan perabotan yang bermerek selain itu pakaian yang dikenakan juga berlabel yang menunjukkan kemewahan.
Beberapa kali saya sering nebeng dia kalau hendak pulang atau kebetulan tempat yang akan saya kunjungi searah dengan perjalanannya. Teman saya ini sering mengeluh bahkan naik darah juga ketakutan bila di persimpangan jalan saat menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau ada pengamen jalanan atau pengemis atau squeege man (orang yang menawarkan jasa mengelap kaca depan mobil atau pedagang asongan yang menjajakan barang apa saja mulai dari tisu, permen, rokok hingga barang-barang yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari.
”Kenapa sih pemerintah gak bisa menanggulangi masalah kemiskinan? Orang-orang ini gak punya kerjaan, harusnya tugas pemerintah nyediain lapangan kerja buat mereka, biar mereka gak luntang-lantung di jalan, bikin resah aja”
Awal-awalnya saya hanya manggut-manggut saja mengiyakan. Sekali dua kali, tiga kali tapi dia terus saja berkomentar tentang hal yang sama saat saya nebeng di mobilnya.
”Ah elu mah, enak ke mana aja bisa naik mobil keren. Punya duit banyak, apa aja yang lu pengen bisa kebeli” timpal saya, sangking bosan dengan komentarnya yang itu-itu melulu”
”Lho, pemerintah kita gak becus sih bisanya korup, ngumpulin harta aja kerjanya gak pernah mikirin rakyatnya. Harusnya kalo mau kaya ya jadi pengusaha aja”. Timpalnya.
Karena status saya hanya penebeng ya sudah saya maklum saja.
Suatu hari ketika saya nebeng lagi, dia mulai ngeluh-ngeluh soal yang sama. Akhirnya karena tidak tahan, saya nyeletuk
”Ya udah kalo memang pemerintah gak becus ngurusin orang-orang miskin, apa salahnya kalo pas ada pengemis mampir ke mobillu ya...lo kasihlah 500perak aja kan lo juga gak bakal miskin kalo ngasih mereka”
”Iya, tapi itukan gak mendidik mereka, mereka akan terus jadi pengemis. Kalo gue kasih nanti yang lainnya pada ikut-ikutan ngrubungin mobil gue”
”Udahlah kasih aja, tuh ada satu pengemis cacat tangan buntung ke mari, udah kasih aja kenapa. Biarlah pemerintah gak mikirin mereka paling tidak elu dah mikirin mereka, lu udah bertindak walau kecil untuk membantu mereka” ujar saya gak mau kalah.
”Ya udah, gue kesian aja sama pengemis ini karena dia cacat, padahal dia masih bisa kerja” hatinya mulai luluh
“Udah deh paling gak kan lu peduli dengan orang yang malang nasibnya” ujar saya. Walau ogah-ogahan power window jendela sampingnya mulai diturunkan walau hanya cukup untuk ukuran satu koin, tapi satu koin 500 rupiah keluar dari mobilnya.
Setiap kali nebeng dan ketemu pengemis saat menunggu lampu lalin jadi hijau saya selalu memintanya untuk memberi koin 500 rupiah.
”Lu ngasih jangan cuma gope’ doang sekali-kali seribu perak kek” celetuk saya
”Cerewet lu udah sukur gue mau kasih, itu juga lu yang nyuruh gue supaya ngasih”
”Ya ngasih uang 1000 rupiah juga gak bikin lu miskin kan? Sindir saya, walau agak ketar-ketir juga takut kalo nanti saya diturunkan di tengah jalan oleh teman saya.
”Udahlah, toh kita-kita juga gak bisa berbuat banyak buat nyelesaiin masalah kemiskinan, tapi paling nggak kan dengan koin yang nggak seberapa jumlahnya, kita udah bantu orang yang miskin toh” kataku
”Ah dasarlu paling bisa nyari-nyari alasan” kata teman saya
Mungkin karena agak malu karena sering saya sindir, jika mobil yang kami tumpangi dihampiri oleh pengemis maka teman saya akhirnya ”agak terbiasa” untuk sekedar memberi uang receh kepada pengemis di persimpangan jalan. Pernah suatu ketika stok uang recehnya habis dan yang ada hanya lembaran uang lima ribu rupiah akhirnya teman saya dengan berat memberi selembar uang lima ribu rupiah kepada seorang pengemis tua dan cacat karena saya sudah lebih dahulu memberi uang seribu rupiah kepada seorang ibu pengemis tua yang mampir di kaca di sisi saya.

Memang seringkali kita mengutuk kemiskinan, mencap orang-orang yang mengemis itu sebagai orang yang malas yang bisanya hanya meminta-minta. Atau lebih mudah menyalahkan pemerintah yang abai terhadap orang-orang yang miskin karena anggaran yang sudah disunat atau sudah masuk ke kantong pribadi.

Tapi terlepas dari itu semua, sudahlah, percuma kita mengutuki hal-hal itu. Orang miskin dan menderita sampai kiamat juga tetap ada. Jika kita tidak cukup bernyali dan bertekad baja untuk melakukan hal-hal yang heroik dalam memberantas kemiskinan, maka memberi koin untuk orang-orang yang miskin yang mengemis di jalanan atau para pengamen jalanan mungkin menjadi sebentuk kepedulian kita terhadap mereka. “Better light a candle than curse the dark”

Andrew Jansen

Menjemput Ajal Menebar Harapan

Bagaimana saat kita diberitahu bahwa kita akan meninggal dalam waktu dekat ini? Tepat minggu depan, tepat bulan depan atau tepat setahun dari sekarang. Berbagai reaksi yang muncul saat kita mengetahui kabar tersebut. Mungkin kita takut atau merasa kenapa kabar ini datang sangat mendadak, sementara masih banyak hal yang belum selesai dikerjakan. Atau ada juga yang tiba-tiba harus mengerjakan berbagai hal yang menurutnya berguna secepat mungkin karena berpacu dengan waktu. Ada juga orang yang bersungut-sungut bahkan marah menyalahi keadaan kenapa hal ini terjadi begitu cepat.

Yang jelas bahwa ada ruang diantara kini di saat kita hidup dan saat kita menemui ajal. Adalah lebih penting jika kita berdiskusi tentang apa yang sebaiknya kita perbuat selama waktu tersebut.

Omong-omong soal kematian, adalah seorang Morrie Schwartz professor sosiologi dari Brandeis University, Waltham, Massachusetts. Vonis hukuman mati telah diterima Morrie di musim panas, Agustus tahun 1994. Dokter yang menanganinya memvonis Morrie menderita penyakit ALS (amyotrophic lateral sclerosis) atau penyakit Lou Gehrig, sebuah penyakit ganas, tak kenal ampun yang menyerang sistem syaraf. Hingga kini belum ditemukan obat penyembuh penyakit tersebut.

”Bagaimana saya sampai terserang?” tanya Morrie
”Belum ada yang tahu” jawab si dokter
”Apakah ini mematikan?”
”Ya”
”Jadi tak lama lagi saya akan mati?”
”Ya” kata dokter, ”maaf”

Morrie tertegun dan saat tersadar ia mendapati bahwa dunia di sekelilingnya normal-normal saja. ”Mengapa dunia tidak ikut berhenti? Tahukah mereka guncangan yang baru saja kualami?”

Morrie menemui ajalnya pada 4 November1995

Kini sebuah buku ditulis tentang hari-hari terakhir orang tua itu oleh Mitch Albom, bekas mahasiswanya dengan judul Tuesdays With Morrie. Dalam catatan Mitch Albom yang tipis itu (tak sampai 200 halaman) kita dapat membaca, bagaimana di hari-hari terakhirnya Morrie Schwartz berbicara, dengan jasad yang semakin macet, tentang pelbagai hal yang menyangkut hidup dan mati. Dalam banyak ”kuliah” - demikian Morrie dan Mitch bersepakat menyebut pertemuan-pertemuan mereka tiap hari Selasa - diskusi yang mendalam tentang harapan menjadi benang merahnya.

Profesor yang terbaring lemah itu pun tahu tak ada yang bisa ia bantah. Ia memutuskan: ia akan membuat kematiannya sebagai proyek penghabisannya.
”Belajarlah bersama aku, dalam perjalanan sakit menuju Maut yang pasti dan pelan ini” Maka ia pun membentuk kelompok diskusi tentang kematian, ia menerima wawancara _ dan ia menjadi terkenal ketika di bulan Maret 1995, ia muncul dalam wawancara dengan Ted Koppel dalam wawancara "Nightline" dalam televisi ABC. Ia juga membuka semacam "kuliah mingguan".

Tiap hari Selasa, Morrie dengan sisa semangatnya berusaha untuk menyelesaikan proyeknya sampai kematian menjemputnya. Mitch Albom, bekas mahasiswanya yang sangat menyayangi guru yang baik itu, menyediakan diri untuk jadi satu-satunya murid. Mitch biasanya datang sehabis sarapan, kadang Mitch memijat tangan Morrie dengan minyak, membantunya melakukan sesuatu yang bagi kita tampak sepele tapi bagi pesakitan seperti Morrie hal tersebut adalah kerja sangat keras. Di sisi ranjang tempat sang profesor terbaring dan menatap kembang sepatu yang tampak di jendela ruang studi, Mitch akan merekam kuliah itu. Dr. Morrie Schwartz tak mengajarkan lagi sosiologi, tapi sesuatu yang lebih dalam dan lebih pendek, serangkaian kuliah tanpa buku, yang akan berakhir bukan dengan sebuah wisuda, tapi dengan pemakaman.

Tercatat ada 14 kuliah di hari Selasa dalam Tuesdays With Morrie. Ada sejumlah topik yang dibahas, di antaranya tentang kematian, tentang keluarga, tentang emosi, usia tua, cinta, maaf, emosi dan pelbagai hal lain. Dr. Morrie Schawrtz tidak lagi disebut sebagai mahaguru, melainkan sebagai seorang yang akrab: Mitch memanggilnya "coach" dan juga dengan nama depan, Morrie, sedang Morrie membalas sapaan Mitch dengan “player”. Kian hari apa yang diutarakan Morrie kian ringkas, tubuhnya kian lama kian lumpuh digerogoti ALS. Pengetahuan akhirnya menjadi redup berganti dengan kearifan yang makin bersinar. Pada Selasa ke-4 Morrie mengucap sebuah kalimat yang mungkin menjadi inti dari semua kuliah-kuliahnya: "Sekali kita belajar tentang kematian, kita akan belajar tentang kehidupan".

Mungkin tak ada yang baru dan aneh dalam kearifan yang diwartakan oleh Morrie. Semua bermuara pada kepasrahan. Ketika akhirnya Morrie tak bisa lagi mengelap kotorannya sehabis buang air besar, ia menyerahkan diri dan bergantung _ dengan tanpa rasa malu _ kepada orang lain.
"Aku mulai menikmati ketergantunganku", katanya.
"Seperti kembali menjadi anak-anak…Kita semua tahu bagaimana menjadi seorang anak. Ada dalam diri kita itu. Bagi saya, ini soal mengingat dan menikmatinya".

Bagi Morrie perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang _ yang akhirnya berwujud Maut. Perlawanan terakhir adalah terhadap kepedihan menghadapi dan meresapi kekalahan. Kita perlu menang atas godaan untuk menganggap kemenangan itu satu hal yang paling penting. Seringkali kita mengejar kemenangan sebagai suatu hal yang penting tapi kita sendiri tidak pernah memahami apa arti kemenangan sesungguhnya. ”Kenapa kita harus menang” sering kali menjadi kelekatan dalam diri kita dan seringkali pada akhirnya kita menyesali kemenangan kita karena banyak hal yang penting hilang berlalu begitu saja atau dikorbankan dalam hidup kita.

Mungkin ini hanya semacam excuse saja tapi tetap saja di dunia ini ada yang menang dan ada yang kalah.

Dalam sebuah kuliahnya Mitch bertanya kepada Morrie, apa pendapatnya tentang kisah Ayub dalam kitab suci
”Ayub seorang yang baik, tapi Allah membuatnya menderita, mengambil semua yang dimilikinya: rumah, ternak, harta dan keluarganya, membuatnya sakit”
”Untuk menguji imannya”
”Betul. Untuk menguji imannya. Sebab itu, aku ingin tahu...”
”Apa yang ingin kau ketahui?”
”Apa pendapatmu Morrie tentang kisah itu?”
Morrie batuk lagi, parah sekali hingga tangannya gemetar
”Menurutku,” jawabnya sambil tersenyum, ”Allah bertindak berlebihan”

Kita bisa saja berkata, "jangan-jangan hidup memang tak pernah adil", dan dengan itu kita bisa maklum bila kita kehilangan. Atau sebaliknya, kita bisa jadi brutal: karena hidup tak pernah adil, maka pengertian keadilan adalah satu hal yang omong kosong. Persoalannya sekarang mana yang kita pilih.

Terserang ALS menjadi nasib sial bagi Morrie, dan tidak ada alasan mengapa ia harus terserang ALS. Semua terjadi begitu saja, ia harus menjalani pelintiran nasib yang mungkin sebenarnya bukan ganjaran dari perbuatan-perbuatannya di masa lalu dan Morrie sadar betul tentang hal itu. Yang menarik ialah bahwa ia tak memilih untuk menjadi marah dan membuat orang lain jadi korban. Harapan, baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberitahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan?

Andrew Jansen

Minggu, 16 Januari 2011

ADA dalam Keseharian Kita

ADA dalam Keseharian Kita

Manusia dengan segenap akal budi yang dianugerahkan Tuhan telah menjadikannya sebagai makhluk yang cerdas dan yang lebih lagi bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari apa yang tadinya hanya sebuah khayalan yang ada dalam benak manusia.
Kemampuan mencipta atau mewujudkan apa yang ada dalam benaknya menjadi sesuatu yang dapat diindera atau juga dikomunikasikan semakin berkembang hingga nantinya akan membentuk sebuah kebudayaan yang kemudian membentuk peradaban.
Bayangkan saja di masa sekarang, orang dengan mudah menemukan hal-hal yang mungkin dahulu hanya menjadi khayalannya sekarang sudah menjadi suatu yang nyata. Teknologi membuat kehidupan manusia menjadi mudah dan praktis, dunia semakin menciut dalam ruang privat. Apa yang terjadi di belahan dunia yang satu dapat dengan cepat dan mudah diketahui oleh orang lain di belahan dunia yang satunya lagi. Kita bisa terhubung secara real time dengan orang lain di belahan dunia lain berkat teknologi internet, transaksi jual beli tidak perlu menghadirkan pembeli, penjual dan barang dalam suatu tempat dan waktu.

Namun penemuan-penemuan dan pencapaian-pencapaian tersebut seringkali membuat hidup kita carut-marut, kita menjadi sibuk mengejar sesuatu yang tanpa disadari malah membuat kita sendiri terseret arus pusaran masalah yang sifatnya anonim. Hiruk pikuk kota menghanyutkan kita menjadi kembara yang memuja tubuh, petarung kapital atau penjilat kekuasaan. Kita menjadi lumpuh dalam mencandra yang rohaniah dan batiniah. Jati diri terabaikan dan hidup menjadi banal, dangkal dan tanpa makna. Hidup menjadi tanpa arti seperti robot yang terdiri dari mesin-mesin yang digerakkan secara mekanistis oleh program-program komputer. Kita seolah-olah sudah tahu semua atau dengan naif percaya bahwa semua itu ya memang sudah begitu (taken for granted). Sudah tidak ada lagi kekaguman akan ciptaan Tuhan yang indah dan agung. Penghayatan akan dunia yang semula baik adanya ciptaan Tuhan makin lama makin raib dalam timbunan-timbunan tafsir baik itu dari hasil pemikiran kita sendiri atau dari pemikiran orang lain. Manusia dengan segenap akal budi berusaha menafsir semua yang ada di hadapannya, memaksakan penafsirannya begitu saja terhadap semua yang terjadi di hadapannya, semua yang ada di hadapannya, tanpa pernah mau memahami dan mendalami makna dibalik itu semua. Bahkan untuk hal-hal yang remeh-temeh sekalipun.

Tapi pernahkah kita membuka diri terhadap yang ”ADA” di hadapan kita? Pernahkah kita membiarkan yang ”ADA” menampakkan diri pada dirinya sendiri? Bertanya mengapa saya ada kedengaran aneh. Pertanyaan ini mungkin tak terjawab. Kita bertanya seperti itu biasanya saat kita sedang dalam keadaan tenang dan hening, jika kita sedang tenggelam dalam kesibukan sehari-hari mempertanyakan hal itu mungkin hanya membuang-buang waktu saja. Namun pada saat tenang dan hening itulah hati kita terbuka terhadap Sang ADA.

Dalam penggalan waktu tertentu yang kita sebut zaman modern Sang ADA lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Masyarakat modern menekankan peranan kesadaran manusia. Mari kita lihat fenomen-fenomen sosial seperti seks bebas, aborsi, pemujaan tubuh, mengejar karier atau pengembangan pribadi, merger atau juga akuisisi perusahaan. Yang menjadi penting dalam semua ini adalah subyek atau ego. Emansipasi juga ide modern yang ada hubungannya dengan kesadaran ini. Yang diemansipasi adalah subyek. Maka dari itu, di mana-mana orang berbicara tentang pembebasan. Maksudnya, kesadaran hendaknya menjadi makin tajam dan makin besar, sehingga orang tidak ditipu oleh lingkungannya atau kekuasaan. Satu hal yang sering dilupakan orang dalam pencarian kesadaran atau subyektivitas ini bahwa jika ada subyek pasti mesti ada obyek, oleh karenanya hubungan subyek dan obyek lalu ditetapkan, dan sudah pasti subyek mendominasi (baca: menguasai) obyek. Di sinilah akar segala manipulasi dan eksploitasi, keterasingan, ketercerabutan dan represi yang juga merupakan gejala-gejala di zaman modern ini.

Oleh karenanya mari kita memahami Sang ADA sebagai sesuatu yang mewahyukan diri pada dirinya sendiri, hubungan subyek-obyek harus diatasi dengan pendekatan holistis-estetis terhadap realitas: membuka mata terutama mata hati selebar-lebarnya bagi Sang ADA yang menampakkan diri dalam peristiwa. Kesadaran jangan dilihat sebagai hubungan penguasaan (dominasi) obyek oleh subyek. Kesadaran adalah suatu peristiwa ADA atau salah satu cara ADA membuka diriNya bagi kita, maka kesadaran diraih lebih dengan membuka diri dan berkontak dengan ADA (dalam keheningan dan kebeningan hati) daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai obyek. Untuk mencapai kesadaran seperti disebutkan di atas ada baiknya kita membuka diri terhadap ADA dan mencandra apa yang kita alami dan kita hadapi dalam hidup kita sehari-hari bahkan dalam hal yang remeh-temeh sekalipun dengan sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri Sang ADA. Bukan cuma ketajaman berpikir tapi lebih dari itu kebeningan dan keheningan hati yang kita butuhkan. Andrew Jansen

ADA dalam Keseharian Kita

ADA dalam Keseharian Kita

Manusia dengan segenap akal budi yang dianugerahkan Tuhan telah menjadikannya sebagai makhluk yang cerdas dan yang lebih lagi bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari apa yang tadinya hanya sebuah khayalan yang ada dalam benak manusia.
Kemampuan mencipta atau mewujudkan apa yang ada dalam benaknya menjadi sesuatu yang dapat diindera atau juga dikomunikasikan semakin berkembang hingga nantinya akan membentuk sebuah kebudayaan yang kemudian membentuk peradaban.
Bayangkan saja di masa sekarang, orang dengan mudah menemukan hal-hal yang mungkin dahulu hanya menjadi khayalannya sekarang sudah menjadi suatu yang nyata. Teknologi membuat kehidupan manusia menjadi mudah dan praktis, dunia semakin menciut dalam ruang privat. Apa yang terjadi di belahan dunia yang satu dapat dengan cepat dan mudah diketahui oleh orang lain di belahan dunia yang satunya lagi. Kita bisa terhubung secara real time dengan orang lain di belahan dunia lain berkat teknologi internet, transaksi jual beli tidak perlu menghadirkan pembeli, penjual dan barang dalam suatu tempat dan waktu.

Namun penemuan-penemuan dan pencapaian-pencapaian tersebut seringkali membuat hidup kita carut-marut, kita menjadi sibuk mengejar sesuatu yang tanpa disadari malah membuat kita sendiri terseret arus pusaran masalah yang sifatnya anonim. Hiruk pikuk kota menghanyutkan kita menjadi kembara yang memuja tubuh, petarung kapital atau penjilat kekuasaan. Kita menjadi lumpuh dalam mencandra yang rohaniah dan batiniah. Jati diri terabaikan dan hidup menjadi banal, dangkal dan tanpa makna. Hidup menjadi tanpa arti seperti robot yang terdiri dari mesin-mesin yang digerakkan secara mekanistis oleh program-program komputer. Kita seolah-olah sudah tahu semua atau dengan naif percaya bahwa semua itu ya memang sudah begitu (taken for granted). Sudah tidak ada lagi kekaguman akan ciptaan Tuhan yang indah dan agung. Penghayatan akan dunia yang semula baik adanya ciptaan Tuhan makin lama makin raib dalam timbunan-timbunan tafsir baik itu dari hasil pemikiran kita sendiri atau dari pemikiran orang lain. Manusia dengan segenap akal budi berusaha menafsir semua yang ada di hadapannya, memaksakan penafsirannya begitu saja terhadap semua yang terjadi di hadapannya, semua yang ada di hadapannya, tanpa pernah mau memahami dan mendalami makna dibalik itu semua. Bahkan untuk hal-hal yang remeh-temeh sekalipun.

Tapi pernahkah kita membuka diri terhadap yang ”ADA” di hadapan kita? Pernahkah kita membiarkan yang ”ADA” menampakkan diri pada dirinya sendiri? Bertanya mengapa saya ada kedengaran aneh. Pertanyaan ini mungkin tak terjawab. Kita bertanya seperti itu biasanya saat kita sedang dalam keadaan tenang dan hening, jika kita sedang tenggelam dalam kesibukan sehari-hari mempertanyakan hal itu mungkin hanya membuang-buang waktu saja. Namun pada saat tenang dan hening itulah hati kita terbuka terhadap Sang ADA.

Dalam penggalan waktu tertentu yang kita sebut zaman modern Sang ADA lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Masyarakat modern menekankan peranan kesadaran manusia. Mari kita lihat fenomen-fenomen sosial seperti seks bebas, aborsi, pemujaan tubuh, mengejar karier atau pengembangan pribadi, merger atau juga akuisisi perusahaan. Yang menjadi penting dalam semua ini adalah subyek atau ego. Emansipasi juga ide modern yang ada hubungannya dengan kesadaran ini. Yang diemansipasi adalah subyek. Maka dari itu, di mana-mana orang berbicara tentang pembebasan. Maksudnya, kesadaran hendaknya menjadi makin tajam dan makin besar, sehingga orang tidak ditipu oleh lingkungannya atau kekuasaan. Satu hal yang sering dilupakan orang dalam pencarian kesadaran atau subyektivitas ini bahwa jika ada subyek pasti mesti ada obyek, oleh karenanya hubungan subyek dan obyek lalu ditetapkan, dan sudah pasti subyek mendominasi (baca: menguasai) obyek. Di sinilah akar segala manipulasi dan eksploitasi, keterasingan, ketercerabutan dan represi yang juga merupakan gejala-gejala di zaman modern ini.

Oleh karenanya mari kita memahami Sang ADA sebagai sesuatu yang mewahyukan diri pada dirinya sendiri, hubungan subyek-obyek harus diatasi dengan pendekatan holistis-estetis terhadap realitas: membuka mata terutama mata hati selebar-lebarnya bagi Sang ADA yang menampakkan diri dalam peristiwa. Kesadaran jangan dilihat sebagai hubungan penguasaan (dominasi) obyek oleh subyek. Kesadaran adalah suatu peristiwa ADA atau salah satu cara ADA membuka diriNya bagi kita, maka kesadaran diraih lebih dengan membuka diri dan berkontak dengan ADA (dalam keheningan dan kebeningan hati) daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai obyek. Untuk mencapai kesadaran seperti disebutkan di atas ada baiknya kita membuka diri terhadap ADA dan mencandra apa yang kita alami dan kita hadapi dalam hidup kita sehari-hari bahkan dalam hal yang remeh-temeh sekalipun dengan sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri Sang ADA. Bukan cuma ketajaman berpikir tapi lebih dari itu kebeningan dan keheningan hati yang kita butuhkan. Andrew Jansen