Selasa, 29 November 2011

Mengenang Cinta Sebelum Ajal Tiba

Suatu malam ketika Ardi pulang ke rumah, istrinya menghidangkan makan malam untuknya, sambil memegang tangannya Ardi berkata; “Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Bene, istrinya lalu duduk disamping sambil menemani Ardi menikmati makan malam dengan tenang. Dari raut wajah dan matanya nampak Bene sedang menahan luka batin yang dalam.



Mendadak Ardi terdiam tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya enggan keluar dari mulutnya. Akan tetapi ia harus membiarkan istrinya mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku ingin sebuah perceraian diantara kami". Ardi lalu memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang. Nampak istrinya tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraan Ardi, dia malah balik dan bertanya kepadaku dengan tenang, "Mengapa?"



Ardi menolak menjawabnya. Ini membuat Bene sungguh marah kepada Ardi, ia menghempas sendok dan garpu ditangannya dan mulai berteriak kepada suaminya, “Engkau bukan seorang laki-laki sejati.” Malam itu mereka tidak saling bertegur sapa. Bene terus menangis dan menangis. Ardi tahu bahwa istinya ingin mengetahui alasan dibalik keinginan Ardi untuk menceraikannya. Tetapi Ardi dapat memberinya sebuah jawaban yang memuaskan; “Dia telah menyebabkan kasih sayangku hilang terhadap Antie (wanita simpananku). Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya kasihan kepadanya”



Masih menyisakan sebungkah perasaan bersalah yang dalam, Ardi membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Bene dapat memiliki rumah mereka, mobil dan 30% dari keuntungan perusahaan mereka. Bene sungguh marah, merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersama Ardi kini telah berubah menjadi orang asing di rumah mereka, khususnya di hati Ardi. Ardi meminta maaf untuk itu semua, untuk waktunya yang telah terbuang selama 10 tahun bersamanya, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadanya, tapi Ardi tidak dapat menarik kembali apa yang telah dikatakannya kepada Anti bahwa ia sungguh mencintainya. Bene menangis dengan suara keras di hadapan Ardi, peristiwa yang diharapkan Ardi terjadi pada istrinya. Bagi Ardi tangisan Bene tidak mempunyai makna apa-apa. Keinginannya untuk bercerai di hati dan pikirannya telah bulat dan ini semua harus dijalankan.



Keesokan harinya, malam telah larut ketika Ardi kembali ke rumah, didapatinya Bene sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur. Ardi tidak menyentuh makan malam tapi langsung beranjak tidur karena kantuk yang tak tertahankan setelah lelah bercengkrama dengan Anti, wanita idamannya saat itu. Ketika terbangun didapatinya Bene masih bertekun menulis di meja yang sama. Ardi cuek dan kembali meneruskan tidurnya.

Selepas malam Bene menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepada Ardi; Dia tidak menginginkan sesuatupun dari Ardi, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum percerain untuk saling memperlakukan sebagai suami-istri dalam arti sebenarnya. Bene meminta Ardi dalam sebulan itu harus berjuang bersamanya untuk hidup normal layaknya suami-istri. Alasannya sangat sederhana; “Denny, anak kita akan menjalani ujian dalam bulan ini, aku tak ingin Denny terganggu karena rencana perceraian ini”



Ardi setuju dengan syarat-syarat yang diberikan Bene. Akan tetapi Bene juga meminta beberapa syarat tambahan sebagai berikut:
"Dalam rentang waktu sebulan itu, engkau harus mengingat kembali bagaimana pada permulaan pernikahan kita, engkau harus menggendongku sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kita. Engkau harus menggendongku dari kamar tidur sampai di muka pintu depan setiap pagi selama sebulan sebelum tanggal perceraian".
"Gila kali ini orang!", pikir Ardi.
"Tapi gak apalah, biar kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah untuk memenuhi permintaannya kepadaku demi meluluskan perceraian kami", gumamnya



Ardi menceritakan hal itu kepada Antie tentang syarat-syarat yang ditawarkan oleh istrinya. Anti tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh dan tak bermakna.
"Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan", seru Antie dengan nada merendahkan.



Ardi dan Bene tak lagi berhubungan badan layaknya suami-istri selama waktu-waktu itu. Sehingga sewaktu Ardi menggendongnya keluar menuju pintu rumah pada hari pertama, mereka tidak merasakan apa-apa. Denny melihatnya sambil bertepuk tangan di belakang kami, lalu berkata, "Wow…papa sedang menggendong mama. Kata-kata putranya sungguh membuat luka di hati Ardi.



Dari tempat tidur sampai di pintu depan Ardi menggendong dan membawa Bene sambil tangannya memeluk erat Ardi. Dia menutup mata sambil berkata pelan; “Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Sedang Ardi mengendarai mobil sendirian ke kantor.



Pada hari kedua, mereka berdua melakukannya dengan lebih mudah. Bene merapat melekat erat di dada Ardi.
"Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan pakaianya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan saksama untuk waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda lagi seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil di raut wajahnya, rambutnya mulai beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu" Begitu rasa yang melintas dalam hati Ardi. Untuk beberapa menit ia mencoba merenung tentang apa yang telah diperbuat kepada istrinya selama perkawinan mereka.

Di hari keempat: "Ketika aku menggendongnya, aku merasa sebuah perasaan kedekatan/keintiman yang mulai kembali merebak di relung hatiku yang paling dalam. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku". Rasa itu muncul lagi namun lebih kuat dari hari sebelumnya. Pada hari keenam dan ketujuh: "Aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tidak mau mengatakan perasaan seperti ini kepada Antie. Aku pikir ini akan lebih baik karena aku hanya ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa menikah dengan wanita yang sekarang aku cintai, Antie."



"Pagi ini aku memperhatikan ketika suatu pagi dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, bahwa semua pakaiannya terasa terlalu besar untuk tubuhnya sekarang. Aku kemudian menyadari bahwa dia semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa aku dapat dengan mudah menggendongnya pada hari-hari itu" gumam Ardi dalam hati.



"Tiba-tiba kenyataan itu sangat menusuk dalam di hati dan perasaanku…Dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya". Ardi lalu mengulurkan tangannya dan menyentuh kepala Bene.



Entah dari mana, tiba-tiba Denny muncul pada saat itu dan berkata, “Papa, sekarang waktunya untuk menggendong dan membawa mama” Bagi Denny, menggendong dan membawa ibunya keluar menjadi sesuatu yang penting dalam hidupnya. Bene mendekati Denny putranya dan memeluk erat tubuh itu penuh keharuan. Ardi memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan karena takut situasi istri dan putranya akan mempengaruhi dan mengubah keputusannya untuk bercerai pada saat-saat akhir memenuhi syarat-syaratnya. Ardi lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangan istrinya melingkar erat di leher suaminya dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis satu dengan yang lain. Ardi pun memeluk erat tubuh Bene; dan ini seperti moment hari pernikahan mereka 10 tahun yang lalu.



Akan tetapi tubuh istrinya yang sekarang ringan membuat Ardi sedih. Pada hari terakhir, ketika ia menggendongnya dengan kedua lengannya ia merasa sangat berat untuk menggerakkannya walaupun cuma selangkah ke depan. Denny telah pergi ke sekolah. Ardi memeluk erat Bene sambil berkata: "Aku tidak pernah memperhatikan selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan keintiman/keakraban satu dengan yang lain". Ardi mengendarai sendiri kendaraan ke kantornya….melompat keluar dari mobil tanpa mengunci pintunya. Ia sangat takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Ia naik ke lantai atas. Anti membuka pintu dan Ardi berkata kepadanya, Maaf, Anti, Aku tidak ingin menceraikan istriku.



Antie memandanginya penuh tanda tanya bercampur keheranan, dan kemudian menyentuh dahi Ardi dengan jarinya. "Apakah badanmu panas?" kata Antie. Ardi mengelak dan mengeluarkan tangan Anti dari dahinya. "Maaf Antie, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memakna secara detail setiap moment kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari bahwa sejak aku menggendong dan membawanya setiap pagi, dan terutama kembali mengingat kenangan hari pernikahan kami aku memutuskan untuk tetap akan menggendongnya sampai hari kematian kami tak terpisahkan satu dari yang lain". Antie sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras dan mulai meraung-raung dalam kesedihan bercampur kemarahan terhadapku. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah tokoh bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk Bene istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis; “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”



Sore hari ketika tiba di rumah, dengan bunga di tangan, sebuah senyum indah di wajah, Ardi berlari kecil menaiki tangga rumahnya, hanya untuk bertemu dengan istrinya dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan mereka, tapi apa yang ditemukan? Bene istrinya telah meninggal di atas tempat tidur yang telah mereka tempati bersama selama 10 tahun pernikahan mereka. Bene telah berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuan Ardi karena kesibukan Ardi menjalin asmara dengan Anti. Bene tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat akibat kanker ganas itu, dan ia ingin menyelamatkanku dari apapun pandangan negatif yang mungkin lahir dari Denny sebagai reaksi atas kebodohan Ardi sebagai seorang suami dan ayah, terutama rencana gila dan bodohnya untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun mempertahankan pernikahan dan demi putra semata wayang…



----sekurang-kurangnnya, di mata Denny – Ardi adalah seorang ayah yang penuh kasih dan sayang….demikianlah makna dibalik perjuangan Bene.

Ditilang Polisi, dan Polisi itu Temanku

Ditilang Polisi, dan Polisi itu Temanku

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau.
Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat.
Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah
biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang.
Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa
melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah
menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku
tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil
terus melaju.
Prit!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya
berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam
hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu
asing.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jon." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah.."
"Oh ya?"
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.
"Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."
Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.
"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala."
Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
"Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."
Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan
menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku
tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono
memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu
sedikit.
Ah, celah lima cm sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa
berkata-kata Bobi kembali ke posnya.. Jono mengambil surat tilang yang
diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata
SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku.
Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan
membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

"Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak
perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut
menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan.
Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi.
Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha
dan berharap agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak agar dapat
kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa
sulitnya. Begitu juga kali ini.. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan
kami terkabulkan. Berhati-hatilah. Salam, Bobi".

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun,
Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan
pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap
kesalahannya dimaafkan... ....
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain.
Sesuatu yang nampaknya adalah hal remeh-temeh bagi kita namun di sisi lain begitu bernilai bagi orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat
berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.