Selasa, 27 Juli 2010

Teknologi Untuk Satu Manusia atau Umat Manusia?

Teknologi Untuk Satu Manusia atau Umat Manusia?

Tidak pernah terpikir oleh kita sebelumnya bahwa dunia yang sekarang kita hidupi telah menciut sedemikian rupa hingga menjadi seolah berada dalam genggaman kita. Betapa tidak sekarang ini kita dapat berhubungan dengan orang lain di belahan dunia lain juga dalam waktu yang bersamaan alias real time melalui internet.
Teknologi telah membuat segala hal yang tidak mungkin di masa lalu menjadi mungkin di masa sekarang. Cetak jarak jauh dalam bisnis surat kabar sudah dimulai sejak kira-kira dua puluh tahun lalu. Teknologi juga telah menyingkat proses dalam kehidupan manusia, dari yang tadinya panjang menjadi lebih singkat.
Sampai di sini semua terlihat baik. Teknologi sebagai buah pikir manusia telah menjadi kekuatan yang dapat merubah hidup manusia menjadi lebih baik, paling tidak begitu klaim kaum teknokrat sebagai kaum yang berinovasi dan juga berhitung untuk menemukan penemuan-penemuan terbaru demi kemajuan umat manusia. Teknologi juga telah mengubah peradaban manusia dari yang tadinya primitif menjadi tradisional hingga modern dan canggih.

Namun dibalik klaim-klaim kecanggihan dan kemudahan hidup bagi manusia, klaim-klaim tersebut tidak bebas dari kekurangan-kekurangan. Teknologi memang banyak membawa manfaat bagi umat manusia tapi mudaratnya ada juga. Perubahan perilaku pada manusia akhirnya juga bermuara pada perubahan budaya masyarakat. Pergerakan tubuh manusia semakin sedikit frekuensinya karena kerja fisik sudah banyak berkurang diganti dengan alat-alat bantu berteknologi, serba otomatis bahkan serba terprogram. Kita bergantung pada teknologi dan jika teknologi mengalami kegagalan, apa yang kita rencanakan juga buyar. Saat teknologi gagal melayani kebutuhan kita, kita menjadi lumpuh. Bisa dibayangkan saat pesawat yang kita tumpangi batal tinggal landas atau harus menunda mendarat karena gangguan entah cuaca buruk atau kerusakan mesin, atau saat kereta yang akan kita tumpangi tertunda keberangkatannya atau malah batal sama sekali. Sistem dalam teknologi informasi dalam dunia bisnis bila mengalami gangguan juga akan menyeret kita dalam pusaran masalah.

Proses yang harus dijalani untuk memperoleh sebuah hasil menjadi lebih singkat karena proses-proses tersebut ”tidak perlu diketahui” bagi para teknokrat proses-proses tersebut hanya akan memperpanjang jalan untuk mencapai solusi. Hal ini yang sekarang menjadi masalah besar dalam kehidupan manusia. Kita sangat bergantung pada alat-alat berteknologi canggih, sehingga kita menjadi lumpuh saat teknologi tersebut tidak berfungsi. Langkah-langkah sudah dipersingkat dalam sebuah proses pencaharian menuju solusi, masalahnya langkah-langkah tersebut pada jaman dahulu harus dikuasai hingga bila terjadi kemacetan, kita tahu bagaimana mengatasinya dengan cara menjalankan secara manual.

Teknologi menjadi alat untuk meramalkan masa depan manusia. Dengan segala kecanggihannya teknologi berusaha menjamin bahwa sesuatu hal di masa depan dapat diprediksi dan orang hanya perlu menunggu saja biar teknologi yang mengerjakan ramalannya.

Saat ini kita sudah masuk dalam suatu era yang kita sebut globalisasi. Dimana batas-batas negara semakin tidak jelas, utamanya dalam dunia perdagangan dan teknologi. Namun ironisnya dunia yang modern, yang global dengan segala kecanggihan teknologi juga tidak bisa melawan ketidakpastian, krisis ekonomi misalnya seringkali dipicu oleh hal-hal yang diluar dugaan. Anthony Giddens5 (2000) menyatakan bahwa krisis ekonomi yang menimpa Asia (termasuk Indonesia) pada tahun 1997 merupakan ontological security, konsekuensi dari kehidupan modern yang memuat kepastian-kepastian yang mengalami kehancuran akibat attack tiba-tiba oleh spekulan uang. Lebih lanjut, Giddens mengatakan: “The world we live in today is not one subject to tight human mastery.” Manusia dengan segala pengetahuan dan teknologi yang dihasilkannya tak mampu mengendalikan dunia, sejarah, dan terpuruk dalam ketidakpastian. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari pengaruh globalisasi dan kapitalisme global.

Dilemma semacam ini sudah terjadi 2 milenium sebelumnya, saat kita membuka kembali Kitab Suci pada Kitab Kejadian. Diceritakan pada bab 11 manusia yang mengembara menemukan tanah yang datar di daerah Sinear mereka semua berbicara dalam bahasa yang sama kemudian mereka menetap di situ. Setelah itu mereka lalu berencana membangun sebuah kota dimana ada menara yang berdiri di situ untuk menyatukan mereka agar tidak tercerai berai. Namun Tuhan merusak rencana tersebut dan menceraiberaikan mereka dengan mengacaukan bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.

Cerita ini berusaha mengingatkan bahwa manusia boleh berencana menyatukan seluruh umat manusia melalui usaha-usaha yang canggih-canggih, manusia boleh berusaha menciutkan dunia ini dalam genggaman, namun bukan itu maksud Tuhan menciptakan manusia. Manusia diciptakan unik satu dengan yang lain agar supaya manusia dapat menghargai dan bersyukur karena keunikannya dan juga keunikan orang lain. Butuh proses untuk memahami keunikan tiap-tiap orang dan segala upaya yang dilakukan untuk menyeragamkan pasti akan menemui jalan buntu.

Teknologi mengklaim bahwa ia membawa kemudahan dan nantinya diharapkan akan menghantarkan manusia pada kebahagiaan. Namun apakah klaim tersebut bisa menjadi klaim yang berlaku universal bagi seluruh umat manusia. Klaim bahwa teknologi menghantar pada kebahagiaan umat manusia bersifat personal atau terlalu pribadi, hanya orang-orang yang menguasai dan mampu membeli teknologi yang bisa bahagia, sedangkan mereka yang tidak menguasai dan mampu membelinya mungkin hanya akan menjadi sampah dalam era globalisasi ini. Untuk itu adalah baik bila teknologi dikuasai dan diupayakan oleh orang-orang yang bermoral dan bertujuan baik yang tidak menyalahgunakan kecanggihan teknologi, yang menggunakan kecanggihan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang tidak mampu dan menderita, bahwa teknologi digunakan oleh orang-orang yang mampu menghargai keberagaman dan keunikan manusia, teknologi juga harus mengarahkan manusia terhadap penghargaan akan proses bahwa sesuatu tidak ada yang instan di muka bumi ini. Bahwa dengan segala kecanggihannya teknologi harusnya mampu mengungkapkan keindahan dan keunikan yang muncul dari setiap tahap-tahap dalam sebuah proses, teknologi harus dapat mendukung setiap proses-proses yang sifatnya alamiah dan kodrati yang menjadi ranah sang pencipta. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa teknologi menjadi alat yang mampu memanusiakan manusia, mengangkat harkat dan martabat manusia bukan malah merendahkan harkat dan martabat manusia sehingga manusia yang satu dapat tidak saling mengalahkan manusia lain hanya karena ia memiliki dan menguasai teknologi.

Dunia pendidikan juga harus mengajarkan bahwa penemuan suatu teknologi adalah sebuah proses yang sarat dengan disiplin dan kerja keras. Ia tidak dilahirkan secara instan tapi melalui proses yang panjang yang seringkali didahului dengan kegagalan namun kegagalan tersebut harus disikapi dengan semangat bahwa di ujung lain dari kegagalan ada ujung lain yang disebut keberhasilan dan itu dapat dicapai jika kita mau sungguh-sungguh bergerak menuju ke ujung yang lain yang disebut keberhasilan.

Andrew Jansen

Teknologi Untuk Satu Manusia atau Umat Manusia?

Teknologi Untuk Satu Manusia atau Umat Manusia?

Tidak pernah terpikir oleh kita sebelumnya bahwa dunia yang sekarang kita hidupi telah menciut sedemikian rupa hingga menjadi seolah berada dalam genggaman kita. Betapa tidak sekarang ini kita dapat berhubungan dengan orang lain di belahan dunia lain juga dalam waktu yang bersamaan alias real time melalui internet.
Teknologi telah membuat segala hal yang tidak mungkin di masa lalu menjadi mungkin di masa sekarang. Cetak jarak jauh dalam bisnis surat kabar sudah dimulai sejak kira-kira dua puluh tahun lalu. Teknologi juga telah menyingkat proses dalam kehidupan manusia, dari yang tadinya panjang menjadi lebih singkat.
Sampai di sini semua terlihat baik. Teknologi sebagai buah pikir manusia telah menjadi kekuatan yang dapat merubah hidup manusia menjadi lebih baik, paling tidak begitu klaim kaum teknokrat sebagai kaum yang berinovasi dan juga berhitung untuk menemukan penemuan-penemuan terbaru demi kemajuan umat manusia. Teknologi juga telah mengubah peradaban manusia dari yang tadinya primitif menjadi tradisional hingga modern dan canggih.

Namun dibalik klaim-klaim kecanggihan dan kemudahan hidup bagi manusia, klaim-klaim tersebut tidak bebas dari kekurangan-kekurangan. Teknologi memang banyak membawa manfaat bagi umat manusia tapi mudaratnya ada juga. Perubahan perilaku pada manusia akhirnya juga bermuara pada perubahan budaya masyarakat. Pergerakan tubuh manusia semakin sedikit frekuensinya karena kerja fisik sudah banyak berkurang diganti dengan alat-alat bantu berteknologi, serba otomatis bahkan serba terprogram. Kita bergantung pada teknologi dan jika teknologi mengalami kegagalan, apa yang kita rencanakan juga buyar. Saat teknologi gagal melayani kebutuhan kita, kita menjadi lumpuh. Bisa dibayangkan saat pesawat yang kita tumpangi batal tinggal landas atau harus menunda mendarat karena gangguan entah cuaca buruk atau kerusakan mesin, atau saat kereta yang akan kita tumpangi tertunda keberangkatannya atau malah batal sama sekali. Sistem dalam teknologi informasi dalam dunia bisnis bila mengalami gangguan juga akan menyeret kita dalam pusaran masalah.

Proses yang harus dijalani untuk memperoleh sebuah hasil menjadi lebih singkat karena proses-proses tersebut ”tidak perlu diketahui” bagi para teknokrat proses-proses tersebut hanya akan memperpanjang jalan untuk mencapai solusi. Hal ini yang sekarang menjadi masalah besar dalam kehidupan manusia. Kita sangat bergantung pada alat-alat berteknologi canggih, sehingga kita menjadi lumpuh saat teknologi tersebut tidak berfungsi. Langkah-langkah sudah dipersingkat dalam sebuah proses pencaharian menuju solusi, masalahnya langkah-langkah tersebut pada jaman dahulu harus dikuasai hingga bila terjadi kemacetan, kita tahu bagaimana mengatasinya dengan cara menjalankan secara manual.

Teknologi menjadi alat untuk meramalkan masa depan manusia. Dengan segala kecanggihannya teknologi berusaha menjamin bahwa sesuatu hal di masa depan dapat diprediksi dan orang hanya perlu menunggu saja biar teknologi yang mengerjakan ramalannya.

Saat ini kita sudah masuk dalam suatu era yang kita sebut globalisasi. Dimana batas-batas negara semakin tidak jelas, utamanya dalam dunia perdagangan dan teknologi. Namun ironisnya dunia yang modern, yang global dengan segala kecanggihan teknologi juga tidak bisa melawan ketidakpastian, krisis ekonomi misalnya seringkali dipicu oleh hal-hal yang diluar dugaan. Anthony Giddens5 (2000) menyatakan bahwa krisis ekonomi yang menimpa Asia (termasuk Indonesia) pada tahun 1997 merupakan ontological security, konsekuensi dari kehidupan modern yang memuat kepastian-kepastian yang mengalami kehancuran akibat attack tiba-tiba oleh spekulan uang. Lebih lanjut, Giddens mengatakan: “The world we live in today is not one subject to tight human mastery.” Manusia dengan segala pengetahuan dan teknologi yang dihasilkannya tak mampu mengendalikan dunia, sejarah, dan terpuruk dalam ketidakpastian. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari pengaruh globalisasi dan kapitalisme global.

Dilemma semacam ini sudah terjadi 2 milenium sebelumnya, saat kita membuka kembali Kitab Suci pada Kitab Kejadian. Diceritakan pada bab 11 manusia yang mengembara menemukan tanah yang datar di daerah Sinear mereka semua berbicara dalam bahasa yang sama kemudian mereka menetap di situ. Setelah itu mereka lalu berencana membangun sebuah kota dimana ada menara yang berdiri di situ untuk menyatukan mereka agar tidak tercerai berai. Namun Tuhan merusak rencana tersebut dan menceraiberaikan mereka dengan mengacaukan bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.

Cerita ini berusaha mengingatkan bahwa manusia boleh berencana menyatukan seluruh umat manusia melalui usaha-usaha yang canggih-canggih, manusia boleh berusaha menciutkan dunia ini dalam genggaman, namun bukan itu maksud Tuhan menciptakan manusia. Manusia diciptakan unik satu dengan yang lain agar supaya manusia dapat menghargai dan bersyukur karena keunikannya dan juga keunikan orang lain. Butuh proses untuk memahami keunikan tiap-tiap orang dan segala upaya yang dilakukan untuk menyeragamkan pasti akan menemui jalan buntu.

Teknologi mengklaim bahwa ia membawa kemudahan dan nantinya diharapkan akan menghantarkan manusia pada kebahagiaan. Namun apakah klaim tersebut bisa menjadi klaim yang berlaku universal bagi seluruh umat manusia. Klaim bahwa teknologi menghantar pada kebahagiaan umat manusia bersifat personal atau terlalu pribadi, hanya orang-orang yang menguasai dan mampu membeli teknologi yang bisa bahagia, sedangkan mereka yang tidak menguasai dan mampu membelinya mungkin hanya akan menjadi sampah dalam era globalisasi ini. Untuk itu adalah baik bila teknologi dikuasai dan diupayakan oleh orang-orang yang bermoral dan bertujuan baik yang tidak menyalahgunakan kecanggihan teknologi, yang menggunakan kecanggihan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang tidak mampu dan menderita, bahwa teknologi digunakan oleh orang-orang yang mampu menghargai keberagaman dan keunikan manusia, teknologi juga harus mengarahkan manusia terhadap penghargaan akan proses bahwa sesuatu tidak ada yang instan di muka bumi ini. Bahwa dengan segala kecanggihannya teknologi harusnya mampu mengungkapkan keindahan dan keunikan yang muncul dari setiap tahap-tahap dalam sebuah proses, teknologi harus dapat mendukung setiap proses-proses yang sifatnya alamiah dan kodrati yang menjadi ranah sang pencipta. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa teknologi menjadi alat yang mampu memanusiakan manusia, mengangkat harkat dan martabat manusia bukan malah merendahkan harkat dan martabat manusia sehingga manusia yang satu dapat tidak saling mengalahkan manusia lain hanya karena ia memiliki dan menguasai teknologi.

Dunia pendidikan juga harus mengajarkan bahwa penemuan suatu teknologi adalah sebuah proses yang sarat dengan disiplin dan kerja keras. Ia tidak dilahirkan secara instan tapi melalui proses yang panjang yang seringkali didahului dengan kegagalan namun kegagalan tersebut harus disikapi dengan semangat bahwa di ujung lain dari kegagalan ada ujung lain yang disebut keberhasilan dan itu dapat dicapai jika kita mau sungguh-sungguh bergerak menuju ke ujung yang lain yang disebut keberhasilan.

Andrew Jansen

Kamis, 15 Juli 2010

iklan


Selasa, 12 Januari 2010

Keadilan dan Kejujuran

Keadilan dan Kejujuran

“Dimanakah dapat ditemukan keadilan yang adalah cinta dengan mata yang melihat?”
Sabda Zarathustra, Friedrich Nietzsche

Keadilan merupakan sesuatu yang didambakan manusia. Sejak zaman Yunani kuno, manusia telah menjadikan keadilan sebagai suatu keutamaan yang harus dikejar atau diupayakan setiap orang dalam seluruh aspek kehidupannya baik social maupun politis.
Namun konsep keadilan itu sendiri telah dimuati oleh banyak dinamika dan makna, salah satu maknanya adalah ‘memberikan pada setiap orang sesuai dengan haknya’. Makna ini mengacu pada konsep kesetaraan. Mengembalikan konsep tersebut pada satu-satunya makna tidak hanya tidak mungkin, melainkan juga bertentangan dengan makna keadilan itu sendiri. Contohnya, jika orang menerangkan sikap tidak memihak sebagai “perlakuan yang sama tanpa memandang pribadi-pribadi terkait” sikap ini bila secara konsekuen dilakukan maka hal ini dapat mengarah pada ketidakadilan karena salah satu nilai keadilan adalah diperhatikannya perbedaan masing-masing individu dengan kebutuhan-kebutuhan mereka yang berbeda-beda. Pelaksanaan konsekuensi dari prinsip kesamaan juga dapat membawa ketidakadilan.

Baru-baru ini misalnya rasa keadilan kita terusik saat kita mendapati seorang nenek renta berumur 55 tahun bernama Minah harus diganjar hukuman penjara. Padahal itu hanya karena Nenek Minah mencuri 3 buah Kakao di kawasan perkebunan di Banyumas, Jawa Tengah. Itu pun si nenek belum melakukan pencurian karena ketahuan oleh mandor pengawas perkebunan. Nenek Minah pun langsung mengaku dan mengatakan ingin mengambil 3 Kakao tersebut.
Entah bagaimana, kejadian ini dilanjutkan hingga ke pengadilan dan Nenek Minah dituntut hukuman 6 bulan penjara. Nenek Minah pun pasrah karena tidak mengerti hukum dan tidak memiliki uang untuk menyewa pengacara. Namun Nenek Minah tetap mengikuti proses hukum yang melelahkan dengan baik dan berkatata jujur serta meminta maaf. Bahkan hakim pun merasa kasihan dan sangat menghargai kejujuran dan ketaatan Nenek Minah mengikuti persidangan. Hingga akhirnya Nenek Minah hanya diganjar 1 bulan 15 hari. Tapi hakim memperbolehkan Nenek Minah untuk tidak menjalani hukuman itu.
Malahan Nenek Minah mendapatkan hadiah istimewa dari Presiden Republik Mimpi, Si Butet Yogya (SBY). Butet Kertarajasa sebagai 'SBY' menghadiahi Minah 5 biji kakao untuk ditanam sebagai bibit.
“Karena presiden asli tidak bisa memberi bibit, terimalah hadiah ini dari presiden bodongan," kelakar Butet.
Hal ini kontras dengan para koruptor, pengemplang duit BLBI yang tak jelas di mana rimbanya atau memang sengaja dibuat tidak jelas di mana rimbanya dan tidak jelas pula bagaimana kelanjutan kasusnya.

Jacques Derrida dalam bagian pertama bukunya yang berjudul Force de loi. Le fondement mystique de l’autorite menulis dengan singkat dan padat: “Keadilan adalah sebuah pengalaman tentang yang tidak mungkin”. Derrida mendefinisikan pengalaman sebagai “melintasi” dalam arti bahwa sebuah pengalaman adalah pembuka jalan, membuka akses dan mendobrak. Jadi pengalaman selalu mungkin karena jika tidak mungkin tentulah orang tidak dapat mengalami apa-apa. Lalu apakah artinya pengalaman yang tidak mungkin? Pengalaman ini adalah sebuah pengalaman yang di dalamnya orang terbentur pada batas-batas dari hal-hal yang bisa dialami; orang terjebak ke dalam sebuah jalan buntu dimana tidak dapat memutuskan pilihan dari jenis either-or hal ini berarti kita tidak bisa sepenuhnya mengalami keadilan. Kita hanya mengalami perbatasan pengalaman kita, yaitu keadaan di mana kita tidak bisa bergerak lebih jauh lagi dan tidak bisa memutuskan pilihan either-or. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita seharusnya tidak mengambil keputusan apapun, melainkan bahwa setiap keputusan yang bagaimanapun juga akan kita ambil tampak sebagai sesuatu yang sangat nekat sekaligus tidak memadai di hadapan kedalaman dan keluasan dari apa yang harus diputuskan, karena kita berada di perbatasan antara apa yang dapat dialami dan apa yang tidak dapat dialami.

Jika keadilan dipahami sebagai suatu pengalaman di mana orang berada dalam kebuntuan maka hal ini berarti bahwa sebuah keputusan yang adil, di satu pihak harus memperoleh pengakuan dengan cara mengindahkan aturan; namun di lain pihak, keputusan itu bisa dianggap adil hanya jika keputusan itu tidak sekedar memenuhi aturan. Tanpa mengalami kebuntuan dimana suatu aturan ditetapkan kembali secara baru, sebuah keputusan tidak dapat dianggap adil.

Kisah hidup Yesus sarat dengan momen-momen seperti ini. Dalam injil sering kita dapati Yesus mengambil keputusan yang kontroversial seperti saat menentukan siapa yang boleh melempar batu pertama kalinya kepada perempuan yang kedapatan berzinah. Dalam hal ini Yesus tidak melanggar hukum taurat tapi Yesus lebih mengedepankan pengampunan yang didasarkan pada cinta kasih, sebuah keadilan yaitu cinta yang melihat dengan mata terbuka. BagiNya kodrat manusia yang pada hakikatnya baik adalah yang utama ketimbang hukum yang dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Pengampunan dan pertobatan sebagai manifestasi cinta kasih bagi Yesus lebih utama daripada hukuman dan kematian bagi orang yang bersalah. Sebab jika hanya menjalani hukuman orang mungkin tidak mengalami pertobatan, dengan hukuman dan kematian mata rantai kekerasan masih dilestarikan, orang tidak melakukan kesalahan bukan karena ia sadar bahwa itu salah dan merugikan orang lain dan mengecewakan Tuhan tapi karena takut akan hukuman dan kematian, ini artinya orang masih hidup di bawah bayang-bayang kematian yang menghantui, bukan menjalani hidup yang merdeka dan berkelimpahan karena kasih. Dalam hal ini pula Yesus mentransformasikan hukum taurat menjadi hukum cinta kasih, bahwa hukum taurat sudah usang dan pada saat yang sama ditetapkanlah hukum yang baru yaitu hukum cinta kasih.

Lalu bagaimana hubungannya dengan kejujuran? Untuk sampai pada suatu keputusan yang adil orang harus mengalami pengalaman kebuntuan dimana orang dituntut untuk jujur dan dengan rendah hati mengakui bahwa benar ia tak dapat membuat keputusan dan untuk itu perlu memohon pada Tuhan agar diberi rahmat sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Kejujuran di sini juga berarti mengakui semua kebaikan dan kebenaran dari pihak manapun yang terlibat di dalamnya dan tidak berusaha untuk menutup-nutupi atau menyembunyikan kebenaran “sebab kebenaran akan membebaskanmu”
Andrew Jansen