Minggu, 25 Juni 2017

Sevel Terkapar Karena Ruwetnya Regulasi?

Kalau kita dalami lebih jauh, begitulah bisnis di era disruption apalagi digital disruption yang ditopang peradapan internet of things.  Persaingan berubah, bukan lagi antar produk atau jasa yang homogen, melainkan antar business model.

Dengan model bisnis itu, Sevel  hanya butuh 2 tahun untuk membuka toko  ke-57, dan setahun berikutnya menjadi 100 (2012).

Sampai di sini semua baik-baik saja. Lapangan pekerjaan yang diciptakan dan profitability-nya bisa dengan mudah dilihat dari laporan keuangan yang terpampang di Bursa Efek. Sampai tahun 2012, rapornya bagus. Tahun berikutnya turun perlahan-lahan. Tapi sampai tahun 2014 relatif masih baik.

Seperti kebanyakan bisnis di Indonesia, begitu model bisnisnya dianggap mengganggu tradisi yang ada, kata orang bijak, sesuatu bisa terjadi, dan "waspadalah."

Apa yang Dilakukan Regulator?

Sevel Indonesia dengan model bisnis ini memang mengundang banyak perhatian, termasuk harian The New York Times yang menurunkan laporan berjudul "7-Eleven Finds a Niche by Adapting to Indonesian Ways, pada 28 Mei 2012.

Modern Group  terbukti mampu mendongkrak reputasi dan pendapatannya melalui Sevel. Sebelumnya ia  nyaris bangkrut akibat  bisnis film rol Fuji yang diageninya kehilangan relevansi.

Dengan cepat, outlet-outlet eks Fuji  yang terletak di titik-titik strategis beralih menjadi  Sevel.

Satu dua pengamat  menyebutkan konsep nongkrongnya bermasalah. Tetapi mereka umumnya menganalisis pasca-2013 setelah intervensi regulator yang merobek-robek rencana bisnis Sevel. Dan Sevel terpaksa melakukan konsolidasi usaha mengalihkan outletnya ke berbagai stasiun kereta api dengan konsep grab and bite tadi.

Menurut saya pandangan bahwa konsep nongkrongnya gagal ini kurang pas sebab pasca 2013, Sevel sudah sulit menerapkan bisnis modelnya itu karena ulah regulator.

Sebab, pasca-2013 Sevel "telah dipaksa" regulator  menjadi outlet grab & bite seperti mini market biasa sehingga. Ia ibarat pesawat tempur yang mesin turbonya lumpuh.

Model bisnis yang dirancang dengan riset yang panjang tak dapat dijalankan karena tak dikehendaki regulator. Penjualannya anjlok karena ia dipaksa menjadi minimarket biasa, dengan model grab and bite tadi.

Tak sulit menganalisis perilaku regulator, yang maaf, kadang mudah diduga mengikuti kehendak lazy incumbents dengan standard dan model bisnis yang sudah mereka kenal dan delta penciptaan lapangan kerjanya stagnan. Padahal zaman berubah terus, terjadi shifting, teknologi baru bermunculan dan metode baru dituntut.

Kalau kita rajin membaca berita, tak sulit melihat perangai regulator yang rigid, berorientasi ke masa lalu, dan reaktif. Itu sudah terjadi dalam banyak kategori industri mulai dari besi baja, taksi online sampai lambannya inovasi di sektor keuangan melalui fintech.

Terima Konsekwensinya

Dan, kalau ini diteruskan maka kita harus menerima konsekuensinya: job creation hancur, konsumen kehilangan pilihan, industri tidak efisien,  pertumbuhan konsumsi tak akan dinikmati industri yang beroperasi di sini karena ia akan dimakan habis pendatang baru dari luar negri yang datang bersama vendornya sendiri, dan bisnis mereka akan divakum pemain asing dengan teknologi internet of things dari luar negri.

Baiklah, kejadian itu mungkin luput dari perhatian Anda. Yang saya maksud itu dikutip media pada awal September 2012 saat Kemendag mengatakan tak ada kompromi bagi Sevel yang berizin ganda: satu izin retail dari Kemendag dan satu izin restoran dari Dinas Pariwisata DKI.

Bagi Kemendag saat itu, Sevel hanya boleh beroperasi sebagai retail. Ini berbeda dengan pandangan dinas pariwisata yang mengekuarkan ijin jasa restoran.

Dari media yang memberitakan saat itu saya membaca arahan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (Detik Finance 04 September 2012):

"Gunaryo mengakui selama ini aktivitas 7-Eleven merangkap sebagai minimarket dan restoran. Ia menjelaskan bahwa pihak manajemen 7-Eleven siap mengikuti arahan dari Kemendag untuk memformat ulang bisnisnya."

Sementara Menteri Perdagangan kala itu pun meng-endorse keputusan dirjennya:

"Sederhana ya, ini kan izin yang mereka peroleh adalah rumah makan yang didapat dari Kementerian Pariwisata, bukan dari Kementerian Perdagangan. Sedangkan kenyataannya mereka mendagangkan bukan hanya makanan saja, ada retailnya, nah ini makanya harus diperjelas," kata menteri perdagangan kala itu, Gita Wirjawan.

Saya hanya membayangkan betapa ribetnya pola pikir regulator di negeri ini. Lihat saja apa jadinya bila pola pikir yang sama diberlakukan pada rumah sakit, bandara, terminal, stasiun kereta api atau bahkan armada transportasi yang juga menyediakan restoran walaupun ijinnya adalah usaha transportasi dari Kementerian Perhubungan.

Apa jadinya bila rumah sakit dilarang membuka rumah makan, outlet bank, toko buku dan kafe seperti yang kita biasa lihat hari ini di banyak rumah sakit modern?

Beruntung Kementerian kesehatan yang mengeluarkan izin tak sekaku Kementerian Perdagangan saat itu.

Bahkan dengan paket pendapatan yang beragam seperti itulah, kini terbukti, Rumah Sakit bisa menekan biaya pengobatan yang ditagih kepada BPJS Kesehatan.

Pada saat BPJS Kesehatan terancam defisit, rumah sakit yang memiliki business model seperti itu lebih mudah merespons perubahan ketimbang yang hanya fokus pada perawatan kesehatan semata.

Perilaku kaku seperti ini juga  sering kita dengar dilakukan para auditor OJK yang amat menghalangi inovasi di dunia perbankan untuk menjelajahi fintech.

Padahal Presiden Jokowi sudah berulang kali mengimbau agar kabinetnya meninggalkan zona nyaman dan hal-hal yang rutin. Presiden tampak paham bahwa disruption tak dapat dihadapi dengan rigidity. Namun lain di atas lain pula di bawahnya.

Dari sini saya berharap para regulator bertobat dan lebih mampu berpikir terbuka terhadap pembaharuan. Saya ingin regulator mengakui bahwa mereka telah turut membunuh kreativititas dan job creation yang dibutuhkan negri ini.

Dengan lebih dari 2.500 karyawan baru, plus hidupnya outlet-outlet yang sudah lama mati, bagi saya seharusnya regulator sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap matinya Sevel.

Kalau kita pandai menggunakan kacamata perubahan yang disruptif, maka   lonceng-lonceng kematian sesungguhnya tengah berbunyi dalam beragam industri mulai dari keuangan, besi baja, semen, pupuk hingga perhotelan.

Saya tak merasa ada masalah bila regulator mengawasi peraturan dengan baik, dan menegur, bahkan menutup bagi yang merugikan kepentingan umum. Apa yang terjadi dengan Sevel sungguh miris.

Saya juga ingin mengingatkan dampak dari setiap kebijakan yang diambil regulator dalam era disruption ini. Pertama, melindungi lazy incumbents akan mengakibatkan penciptaan lapangan kerja baru terhambat dan konsumen kehilangan pilihan.

Kedua, menimbulkan tekanan bagi lazy incumbent bisa mengakibatkan incumbent terpacu berubah dan menciptakan lapangan kerja baru.

Ketiga, mendatangkan kebijakan baru yang disruptif bisa menimbulkan lapangan kerjabaru, bisa juga menghancurkan semuanya.

Adakalanya kehancuran lapangan pekerjaan akibat peristiwa disruption memang tak dapat dihindarkan. Namun penting bagi regulator untuk mengkompensirnya dengan kebijakan disruptif lain yang menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

Itulah yang tengah dilakukan pemerintah Singapura yang  melatih ulang SDM-nya menyusul ancaman disruptif terhadap 160.000 pekerja di sektor retail yang terancam e-commerce dari Tiongkok dan Indonesia. Belum lagi ancaman pada pekerja sektor pelabuhan menyusul rencana pembangunan terusan Kra di Thailand.

Rabu, 14 Juni 2017

Mentalitas Berkelimpahan

MENTALITAS BERKELIMPAHAN
@pmsusbandono
15 Juni 2017

Mungkin ini bukan istilah yang pas.   “Mentalitas berkelimpahan” adalah  terjemahan bebas dari    "abundance mentality”.

Jangankan istilah, maknanya pun belum begitu saya pahami, apalagi implementasinya.  Ada baiknya kalau kita telusuri bersama-sama dengan kisah-kisah nyata.

Kejadian yang acap terlihat di pesta pernikahan.   Suguhan utama digelar di meja panjang, di tengah ruangan.  Beberapa makanan tambahan diletakkan di  stall, dan  salah satu  favorit adalah kambing guling.  Antrean panjang mengular berkelok-kelok.  Saat tiba giliran, orang cenderung mengambilnya dengan porsi berlebihan. 

Timbul “ancaman” dalam bentuk rasa takut akan kekurangan atau kehabisan.  Padahal, bukankah masih banyak jenis makanan lain yang tersedia?.  Bukankah tak terlalu sulit untuk mendapatkan makanan seperti itu?.  Mengapa rasa khawatir muncul berlebihan hingga memicu perilaku agresif?.  (Alasan yang timbul untuk takut sering tak masuk akal).

Mindset seperti itu disebut  “scarcity mentality” atau “mentalitas kekurangan”, antonim dari “mentalitas berkelimpahan”.  Orang dihinggapi mentalitas kekurangan, pertama, karena resources yang dipersepsi kurang. Orang mengantisipasinya dengan melakukan proteksi diri yang berlebihan.

Kedua,  scarcity mentality lahir karena adanya prinsip  “aku-kamu”, yang  mutually exclusive. “Pokoknya aku harus dapat, tak peduli kamu”.   Jangan-jangan, “Kalau kamu dapat, maka aku tidak”.   Kombinasi dari kedua pernyataan itu adalah : “Karena kalau kamu dapat, aku tidak, maka aku harus dapat, tak peduli kamu”.  Sikap seperti ini disebut  zero sum game.

Kisah pengalaman  lain mungkin bisa memperjelas konteks tadi.

Usai belanja di suatu pasar swalayan, saya harus membayar uang parkir.  Ada 5 lembar uang dua ribu rupiah di saku celana.  Saya memilih dengan seksama mana lembar yang paling kumuh, dan itu yang diberikan kepada si tukang parkir.  Lembar sisa yang lebih baru, mengkilat, dan licin  saya simpan kembali.

Dengan nilai rupiah yang sama, saya memberikan yang kumuh (untuk orang lain) dan memilih lembar-lembar  yang lebih bagus (untuk saya).  Sepertinya, lembar dua ribuan yang lebih bersih mempunyai nilai yang lebih besar.  Seolah saya untung dengan memberi lembar rupiah yang lebih kumuh.  Padahal tidak.

Scarcity allowance adalah kekhawatiran akan kekurangan atau menderita bila berbagi kepada orang lain.  Ia ditandai dengan rasa takut apakah kita cukup (atau berlebih?) dan (jangan-jangan) orang lain mendapat  keuntungan dari kita.    Sementara “mentalitas berkelimpahan” adalah sikap yang tidak mempedulikan untung atau rugi bila berinteraksi dengan sesama.   “Abundance mentality separates happy people from unhappy people”.  (Mikey D. – Feel Happiness, August 2012)

Di jalan raya, mentalitas kekurangan mewujud dalam sikap tak peduli meski harus merugikan (memotong  jalan) orang lain.   Yang penting cepat dan sampai lebih dulu.  Padahal, dengan tertib antre  semua akan mencapai tujuan, bersama-sama, dengan lebih cepat.

Banyak orang salah sangka bahwa mentalitas berkelebihan hanya dimiliki bila seseorang (sudah)  berkelebihan (baca : kaya).  Itu pendapat yang keliru.  Berkelimpahan adalah  state of mind, bukan realitas wujud fisik.

Manusia seluruh dunia bernafas bersama-sama.  Kaya atau miskin, siapa saja, namun tidak ada yang khawatir kehabisan oksigen.  Padahal ada sekian milyar manusia di bumi ini yang setiap saat bernafas.   Sikap ingin lebih cepat atau mendapat lebih banyak saat menghirup oksigen tak pernah muncul. 

Itu  mindset yang menghapus mentalitas kekurangan.

Bagaimana bisa mempunyai mental berkelimpahan?.  Coba saja resep yang konon efektif.  Berilah kepada orang lain, siapa saja, sesuatu yang kita khawatirkan akan kekurangan.

Cara ini disebut  backward rationalization.  Secara tak sadar kita akan berpikir : “Saya tidak akan memberi sesuatu kalau saya tidak mempunyainya bahkan secara berlebih”.   “When you help another person get to the top of a mountain, you will arrive there also”.

Merasa terburu-buru dan kemrungsung?.   Sisihkan waktu untuk menolong orang lain.  Insya Allah anda akan merasa lebih lega dan senggang.   Lebih dari itu,  jangan pernah khawatir Alam Semesta tak sanggup menjamin hidup  kita, asal tidak ada manusia serakah yang menelan habis jagad raya ini.

“Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed”. (Mahatma Gandhi)

Selasa, 13 Juni 2017

Wiro Sableng #74 : Dendam Di Puncak Singgalang

Wiro Sableng #74 : Dendam Di Puncak Singgalang Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1WIRO SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

Episode : DENDAM DI PUNCAK SINGGALANG

SATU

DUA gunung tinggi menjulang menyapu awan, terlihat jelas dari kejauhan di bawah langit yang biru bersih.
Kehadiran gunung Singgalang dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas seperti yang selalu diperumpamakan oleh penduduk memang benar yaitu seolah dua raksasa penjaga negeri.
Saat itu menjelang tengah hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung Singgalang tampak seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.

Orang ini berusia sekitar setengah abad, berkumis tipis rapi, mengenakan destar tinggi berwarna hitam yang pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat dari kain bludru warna hijau yang juga ada renda benang emasnya. Di pinggangnya, di balik ikat pinggang besar terselip sebilah keris. Baik gagang maupun sarung senjata ini terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari sejenis besi putih yang dilapisi emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang dan sarung senjata itu, kelihatan cahaya kuning memantul menyilaukan.

Pada waktu yang hampir bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat sebuah k
... baca selengkapnya di Wiro Sableng #74 : Dendam Di Puncak Singgalang Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1