Kamis, 11 Agustus 2011

Karena Terlalu Lama Dijajah

Setiap memasuki bulan Agustus, ingatan kita sebagai orang Indonesia atau bekas orang Indonesia biasanya akan merujuk pada sebuah momen yaitu peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Mungkin yang sering muncul di benak kita adalah pesta rakyat dengan segala perlombaan dan keriaannya.
Kita senang, kita bergembira dan kita merayakan kebebasan dari belenggu penjajahan baik Belanda maupun Jepang jaman dahulu. Pada jaman penjajahan, orang tidak bebas untuk melakukan sesuatu, pihak penjajah membatasi akses informasi juga kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dibatasi dan diawasi. Masyarakat kelas bawah lebih menderita terutama karena akses yang minim kepada sumber daya yang menunjang kehidupan paling dasar seperti sandang, pangan dan papan.
Memasuki masa pasca kemerdekaan, masyarakat lebih bebas namun ketakutan-ketakunan di tengah-tengah masyarakat makin menjadi-jadi betapa tidak setelah proklamasi keadaan menjadi serba tidak menentu, huru-hara terjadi di mana-mana karena tidak jelas siapa yang jadi penguasa. Pemerintahan yang baru belum terbentuk. Masyarakat menjadi sangat ketakutan tidak ada yang bisa dipercaya atau diandalkan.
Karena terlalu lama dijajah juga sesudah itu kita biasa berada dalam keadaan tidak menentu sampai hari ini. Hal ini membuat kita menjadi sulit percaya kepada orang lain, walaupun orang lain tersebut bermaksud baik dan tulus kepada kita. Para ahli menyebutnya sebagai low trust society.
Contoh paling gampang saja kalo kita berbelanja ke pasar tradisional atau ke pasar-pasar lainnya dimana tawar-menawar harga diperbolehkan, kita secara naluriah pasti berusaha menawar hingga mendapat harga yang paling rendah. BAhkan di toko-toko yang sudah memasang banderol pun kalo harganya masih bisa ditawar kenapa tidak dicoba.
Memasang teralis di jendela atau di pintu (sebagai pintu serangga atau pintu besi), memasang pagar rumah menjadi suatu yang lumrah di negeri ini demi keamanan, walau seringkali logikanya maling/pencuri yang semestinya berada di balik teralis bukan kita.
Jika kita masuk ke gedung-gedung perkantoran atau ke mal kita harus diperiksa termasuk barang-barang bawaan kita, demi keamanan takut jika siapa tahu kita yang membawa bom. BAhkan lebih miris lagi saat hendak mengikuti misa Natal atau Paskah kita diperiksa berikut barang-barang bawaan kita. Atau di kalangan saudara-saudara kita yang muslim ada gurauan, sandal aja di masjid bisa hilang apalagi kalo di masjid ada pianonya.
Saat kuliah kami dibekali dengan dua jilid mata kuliah yang berkaitan dengan konstruksi bangunan, sang dosen menekankan supaya kita menguasai mata kuliah tersebut dengan agar supaya kita tidak diakali oleh insinyur bangunan saat nanti merancang bangunan pengolahan limbah, di satu sisi memang ada baiknya tetapi kadang terbersit juga lho kalo insinyur bangunan yang mengakali kita kenapa tidak mereka yang disalahkan kan itu sudah tugas mereka untuk merancang bangunan yang kuat dan sesuai budget yang disediakan. Mereka yang korup koq kita yang disalahkan? Setelah ada pembaruan kurikulum mata kuliah yang saya sebut di atas akhirnya dilebur menjadi hanya 1 jilid.


Lalu bagaimana?
Akhirnya yang dapat kita lakukan di saat ini. Kita harus berusaha sedemikian rupa menjadi orang yang dapat dipercaya. Klasik sebenarnya kalo ditimbang-timbang, tapi menurut saya itulah jalan satu-satunya. Berusaha untuk jujur apa adanya terutama terhadap diri kita sendiri, berusaha menepati janji, atau kalaupun tidak bisa menepati janji paling tidak memberitahu bahwa saya tidak bisa menepati janji karena ini dan itu dan masuk akal. Tapi juga yang penting adalah tidak berusaha mencari-cari pembenaran atas kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan agar. Tidak berusaha memutar balikkan logika untuk mencari pembenaran atas apa yang memang sudah salah.
Katamu ya hendaknya ya, tidak hendaknya tidak, apapun di luar itu berasal dari si jahat.