Minggu, 16 Januari 2011

ADA dalam Keseharian Kita

ADA dalam Keseharian Kita

Manusia dengan segenap akal budi yang dianugerahkan Tuhan telah menjadikannya sebagai makhluk yang cerdas dan yang lebih lagi bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari apa yang tadinya hanya sebuah khayalan yang ada dalam benak manusia.
Kemampuan mencipta atau mewujudkan apa yang ada dalam benaknya menjadi sesuatu yang dapat diindera atau juga dikomunikasikan semakin berkembang hingga nantinya akan membentuk sebuah kebudayaan yang kemudian membentuk peradaban.
Bayangkan saja di masa sekarang, orang dengan mudah menemukan hal-hal yang mungkin dahulu hanya menjadi khayalannya sekarang sudah menjadi suatu yang nyata. Teknologi membuat kehidupan manusia menjadi mudah dan praktis, dunia semakin menciut dalam ruang privat. Apa yang terjadi di belahan dunia yang satu dapat dengan cepat dan mudah diketahui oleh orang lain di belahan dunia yang satunya lagi. Kita bisa terhubung secara real time dengan orang lain di belahan dunia lain berkat teknologi internet, transaksi jual beli tidak perlu menghadirkan pembeli, penjual dan barang dalam suatu tempat dan waktu.

Namun penemuan-penemuan dan pencapaian-pencapaian tersebut seringkali membuat hidup kita carut-marut, kita menjadi sibuk mengejar sesuatu yang tanpa disadari malah membuat kita sendiri terseret arus pusaran masalah yang sifatnya anonim. Hiruk pikuk kota menghanyutkan kita menjadi kembara yang memuja tubuh, petarung kapital atau penjilat kekuasaan. Kita menjadi lumpuh dalam mencandra yang rohaniah dan batiniah. Jati diri terabaikan dan hidup menjadi banal, dangkal dan tanpa makna. Hidup menjadi tanpa arti seperti robot yang terdiri dari mesin-mesin yang digerakkan secara mekanistis oleh program-program komputer. Kita seolah-olah sudah tahu semua atau dengan naif percaya bahwa semua itu ya memang sudah begitu (taken for granted). Sudah tidak ada lagi kekaguman akan ciptaan Tuhan yang indah dan agung. Penghayatan akan dunia yang semula baik adanya ciptaan Tuhan makin lama makin raib dalam timbunan-timbunan tafsir baik itu dari hasil pemikiran kita sendiri atau dari pemikiran orang lain. Manusia dengan segenap akal budi berusaha menafsir semua yang ada di hadapannya, memaksakan penafsirannya begitu saja terhadap semua yang terjadi di hadapannya, semua yang ada di hadapannya, tanpa pernah mau memahami dan mendalami makna dibalik itu semua. Bahkan untuk hal-hal yang remeh-temeh sekalipun.

Tapi pernahkah kita membuka diri terhadap yang ”ADA” di hadapan kita? Pernahkah kita membiarkan yang ”ADA” menampakkan diri pada dirinya sendiri? Bertanya mengapa saya ada kedengaran aneh. Pertanyaan ini mungkin tak terjawab. Kita bertanya seperti itu biasanya saat kita sedang dalam keadaan tenang dan hening, jika kita sedang tenggelam dalam kesibukan sehari-hari mempertanyakan hal itu mungkin hanya membuang-buang waktu saja. Namun pada saat tenang dan hening itulah hati kita terbuka terhadap Sang ADA.

Dalam penggalan waktu tertentu yang kita sebut zaman modern Sang ADA lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Masyarakat modern menekankan peranan kesadaran manusia. Mari kita lihat fenomen-fenomen sosial seperti seks bebas, aborsi, pemujaan tubuh, mengejar karier atau pengembangan pribadi, merger atau juga akuisisi perusahaan. Yang menjadi penting dalam semua ini adalah subyek atau ego. Emansipasi juga ide modern yang ada hubungannya dengan kesadaran ini. Yang diemansipasi adalah subyek. Maka dari itu, di mana-mana orang berbicara tentang pembebasan. Maksudnya, kesadaran hendaknya menjadi makin tajam dan makin besar, sehingga orang tidak ditipu oleh lingkungannya atau kekuasaan. Satu hal yang sering dilupakan orang dalam pencarian kesadaran atau subyektivitas ini bahwa jika ada subyek pasti mesti ada obyek, oleh karenanya hubungan subyek dan obyek lalu ditetapkan, dan sudah pasti subyek mendominasi (baca: menguasai) obyek. Di sinilah akar segala manipulasi dan eksploitasi, keterasingan, ketercerabutan dan represi yang juga merupakan gejala-gejala di zaman modern ini.

Oleh karenanya mari kita memahami Sang ADA sebagai sesuatu yang mewahyukan diri pada dirinya sendiri, hubungan subyek-obyek harus diatasi dengan pendekatan holistis-estetis terhadap realitas: membuka mata terutama mata hati selebar-lebarnya bagi Sang ADA yang menampakkan diri dalam peristiwa. Kesadaran jangan dilihat sebagai hubungan penguasaan (dominasi) obyek oleh subyek. Kesadaran adalah suatu peristiwa ADA atau salah satu cara ADA membuka diriNya bagi kita, maka kesadaran diraih lebih dengan membuka diri dan berkontak dengan ADA (dalam keheningan dan kebeningan hati) daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai obyek. Untuk mencapai kesadaran seperti disebutkan di atas ada baiknya kita membuka diri terhadap ADA dan mencandra apa yang kita alami dan kita hadapi dalam hidup kita sehari-hari bahkan dalam hal yang remeh-temeh sekalipun dengan sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri Sang ADA. Bukan cuma ketajaman berpikir tapi lebih dari itu kebeningan dan keheningan hati yang kita butuhkan. Andrew Jansen

ADA dalam Keseharian Kita

ADA dalam Keseharian Kita

Manusia dengan segenap akal budi yang dianugerahkan Tuhan telah menjadikannya sebagai makhluk yang cerdas dan yang lebih lagi bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari apa yang tadinya hanya sebuah khayalan yang ada dalam benak manusia.
Kemampuan mencipta atau mewujudkan apa yang ada dalam benaknya menjadi sesuatu yang dapat diindera atau juga dikomunikasikan semakin berkembang hingga nantinya akan membentuk sebuah kebudayaan yang kemudian membentuk peradaban.
Bayangkan saja di masa sekarang, orang dengan mudah menemukan hal-hal yang mungkin dahulu hanya menjadi khayalannya sekarang sudah menjadi suatu yang nyata. Teknologi membuat kehidupan manusia menjadi mudah dan praktis, dunia semakin menciut dalam ruang privat. Apa yang terjadi di belahan dunia yang satu dapat dengan cepat dan mudah diketahui oleh orang lain di belahan dunia yang satunya lagi. Kita bisa terhubung secara real time dengan orang lain di belahan dunia lain berkat teknologi internet, transaksi jual beli tidak perlu menghadirkan pembeli, penjual dan barang dalam suatu tempat dan waktu.

Namun penemuan-penemuan dan pencapaian-pencapaian tersebut seringkali membuat hidup kita carut-marut, kita menjadi sibuk mengejar sesuatu yang tanpa disadari malah membuat kita sendiri terseret arus pusaran masalah yang sifatnya anonim. Hiruk pikuk kota menghanyutkan kita menjadi kembara yang memuja tubuh, petarung kapital atau penjilat kekuasaan. Kita menjadi lumpuh dalam mencandra yang rohaniah dan batiniah. Jati diri terabaikan dan hidup menjadi banal, dangkal dan tanpa makna. Hidup menjadi tanpa arti seperti robot yang terdiri dari mesin-mesin yang digerakkan secara mekanistis oleh program-program komputer. Kita seolah-olah sudah tahu semua atau dengan naif percaya bahwa semua itu ya memang sudah begitu (taken for granted). Sudah tidak ada lagi kekaguman akan ciptaan Tuhan yang indah dan agung. Penghayatan akan dunia yang semula baik adanya ciptaan Tuhan makin lama makin raib dalam timbunan-timbunan tafsir baik itu dari hasil pemikiran kita sendiri atau dari pemikiran orang lain. Manusia dengan segenap akal budi berusaha menafsir semua yang ada di hadapannya, memaksakan penafsirannya begitu saja terhadap semua yang terjadi di hadapannya, semua yang ada di hadapannya, tanpa pernah mau memahami dan mendalami makna dibalik itu semua. Bahkan untuk hal-hal yang remeh-temeh sekalipun.

Tapi pernahkah kita membuka diri terhadap yang ”ADA” di hadapan kita? Pernahkah kita membiarkan yang ”ADA” menampakkan diri pada dirinya sendiri? Bertanya mengapa saya ada kedengaran aneh. Pertanyaan ini mungkin tak terjawab. Kita bertanya seperti itu biasanya saat kita sedang dalam keadaan tenang dan hening, jika kita sedang tenggelam dalam kesibukan sehari-hari mempertanyakan hal itu mungkin hanya membuang-buang waktu saja. Namun pada saat tenang dan hening itulah hati kita terbuka terhadap Sang ADA.

Dalam penggalan waktu tertentu yang kita sebut zaman modern Sang ADA lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Masyarakat modern menekankan peranan kesadaran manusia. Mari kita lihat fenomen-fenomen sosial seperti seks bebas, aborsi, pemujaan tubuh, mengejar karier atau pengembangan pribadi, merger atau juga akuisisi perusahaan. Yang menjadi penting dalam semua ini adalah subyek atau ego. Emansipasi juga ide modern yang ada hubungannya dengan kesadaran ini. Yang diemansipasi adalah subyek. Maka dari itu, di mana-mana orang berbicara tentang pembebasan. Maksudnya, kesadaran hendaknya menjadi makin tajam dan makin besar, sehingga orang tidak ditipu oleh lingkungannya atau kekuasaan. Satu hal yang sering dilupakan orang dalam pencarian kesadaran atau subyektivitas ini bahwa jika ada subyek pasti mesti ada obyek, oleh karenanya hubungan subyek dan obyek lalu ditetapkan, dan sudah pasti subyek mendominasi (baca: menguasai) obyek. Di sinilah akar segala manipulasi dan eksploitasi, keterasingan, ketercerabutan dan represi yang juga merupakan gejala-gejala di zaman modern ini.

Oleh karenanya mari kita memahami Sang ADA sebagai sesuatu yang mewahyukan diri pada dirinya sendiri, hubungan subyek-obyek harus diatasi dengan pendekatan holistis-estetis terhadap realitas: membuka mata terutama mata hati selebar-lebarnya bagi Sang ADA yang menampakkan diri dalam peristiwa. Kesadaran jangan dilihat sebagai hubungan penguasaan (dominasi) obyek oleh subyek. Kesadaran adalah suatu peristiwa ADA atau salah satu cara ADA membuka diriNya bagi kita, maka kesadaran diraih lebih dengan membuka diri dan berkontak dengan ADA (dalam keheningan dan kebeningan hati) daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai obyek. Untuk mencapai kesadaran seperti disebutkan di atas ada baiknya kita membuka diri terhadap ADA dan mencandra apa yang kita alami dan kita hadapi dalam hidup kita sehari-hari bahkan dalam hal yang remeh-temeh sekalipun dengan sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri Sang ADA. Bukan cuma ketajaman berpikir tapi lebih dari itu kebeningan dan keheningan hati yang kita butuhkan. Andrew Jansen