Rabu, 14 Juni 2017

Mentalitas Berkelimpahan

MENTALITAS BERKELIMPAHAN
@pmsusbandono
15 Juni 2017

Mungkin ini bukan istilah yang pas.   “Mentalitas berkelimpahan” adalah  terjemahan bebas dari    "abundance mentality”.

Jangankan istilah, maknanya pun belum begitu saya pahami, apalagi implementasinya.  Ada baiknya kalau kita telusuri bersama-sama dengan kisah-kisah nyata.

Kejadian yang acap terlihat di pesta pernikahan.   Suguhan utama digelar di meja panjang, di tengah ruangan.  Beberapa makanan tambahan diletakkan di  stall, dan  salah satu  favorit adalah kambing guling.  Antrean panjang mengular berkelok-kelok.  Saat tiba giliran, orang cenderung mengambilnya dengan porsi berlebihan. 

Timbul “ancaman” dalam bentuk rasa takut akan kekurangan atau kehabisan.  Padahal, bukankah masih banyak jenis makanan lain yang tersedia?.  Bukankah tak terlalu sulit untuk mendapatkan makanan seperti itu?.  Mengapa rasa khawatir muncul berlebihan hingga memicu perilaku agresif?.  (Alasan yang timbul untuk takut sering tak masuk akal).

Mindset seperti itu disebut  “scarcity mentality” atau “mentalitas kekurangan”, antonim dari “mentalitas berkelimpahan”.  Orang dihinggapi mentalitas kekurangan, pertama, karena resources yang dipersepsi kurang. Orang mengantisipasinya dengan melakukan proteksi diri yang berlebihan.

Kedua,  scarcity mentality lahir karena adanya prinsip  “aku-kamu”, yang  mutually exclusive. “Pokoknya aku harus dapat, tak peduli kamu”.   Jangan-jangan, “Kalau kamu dapat, maka aku tidak”.   Kombinasi dari kedua pernyataan itu adalah : “Karena kalau kamu dapat, aku tidak, maka aku harus dapat, tak peduli kamu”.  Sikap seperti ini disebut  zero sum game.

Kisah pengalaman  lain mungkin bisa memperjelas konteks tadi.

Usai belanja di suatu pasar swalayan, saya harus membayar uang parkir.  Ada 5 lembar uang dua ribu rupiah di saku celana.  Saya memilih dengan seksama mana lembar yang paling kumuh, dan itu yang diberikan kepada si tukang parkir.  Lembar sisa yang lebih baru, mengkilat, dan licin  saya simpan kembali.

Dengan nilai rupiah yang sama, saya memberikan yang kumuh (untuk orang lain) dan memilih lembar-lembar  yang lebih bagus (untuk saya).  Sepertinya, lembar dua ribuan yang lebih bersih mempunyai nilai yang lebih besar.  Seolah saya untung dengan memberi lembar rupiah yang lebih kumuh.  Padahal tidak.

Scarcity allowance adalah kekhawatiran akan kekurangan atau menderita bila berbagi kepada orang lain.  Ia ditandai dengan rasa takut apakah kita cukup (atau berlebih?) dan (jangan-jangan) orang lain mendapat  keuntungan dari kita.    Sementara “mentalitas berkelimpahan” adalah sikap yang tidak mempedulikan untung atau rugi bila berinteraksi dengan sesama.   “Abundance mentality separates happy people from unhappy people”.  (Mikey D. – Feel Happiness, August 2012)

Di jalan raya, mentalitas kekurangan mewujud dalam sikap tak peduli meski harus merugikan (memotong  jalan) orang lain.   Yang penting cepat dan sampai lebih dulu.  Padahal, dengan tertib antre  semua akan mencapai tujuan, bersama-sama, dengan lebih cepat.

Banyak orang salah sangka bahwa mentalitas berkelebihan hanya dimiliki bila seseorang (sudah)  berkelebihan (baca : kaya).  Itu pendapat yang keliru.  Berkelimpahan adalah  state of mind, bukan realitas wujud fisik.

Manusia seluruh dunia bernafas bersama-sama.  Kaya atau miskin, siapa saja, namun tidak ada yang khawatir kehabisan oksigen.  Padahal ada sekian milyar manusia di bumi ini yang setiap saat bernafas.   Sikap ingin lebih cepat atau mendapat lebih banyak saat menghirup oksigen tak pernah muncul. 

Itu  mindset yang menghapus mentalitas kekurangan.

Bagaimana bisa mempunyai mental berkelimpahan?.  Coba saja resep yang konon efektif.  Berilah kepada orang lain, siapa saja, sesuatu yang kita khawatirkan akan kekurangan.

Cara ini disebut  backward rationalization.  Secara tak sadar kita akan berpikir : “Saya tidak akan memberi sesuatu kalau saya tidak mempunyainya bahkan secara berlebih”.   “When you help another person get to the top of a mountain, you will arrive there also”.

Merasa terburu-buru dan kemrungsung?.   Sisihkan waktu untuk menolong orang lain.  Insya Allah anda akan merasa lebih lega dan senggang.   Lebih dari itu,  jangan pernah khawatir Alam Semesta tak sanggup menjamin hidup  kita, asal tidak ada manusia serakah yang menelan habis jagad raya ini.

“Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed”. (Mahatma Gandhi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar