Selasa, 31 Mei 2011

Malam Gelap Sukma

Kala kita berhadapan dengan kesulitan dalam hidup kita mungkin beberapa dari kita mengahadapinya atau ada juga yang lari dari kesulitan tersebut. Kalaupun kita memilih untuk menghadapi kesulitan tersebut kita masih dapat memilih apakah kita akan menghadapinya dengan keras kepala atau dengan lemah lembut?

Pada tahun 2008 terbit sebuah buku dengan judul Come Be My Light. Buku ini merupakan kumpulan catatan dan surat-surat yang ditulis oleh Ibu Teresa. Yang menarik dari buku ini adalah bahwa dalam catatan-catatan dan surat-suratnya kita menemukan bahwa seorang Ibu Teresa kerap kali berada dalam keadaan yang disebutnya Malam Gelap Sukma atau The Dark Night of The Soul. Keadaan dimana jiwa dan hati mengalami kekosongan, kekeringan, kesendirian dan ketersiksaan. Seolah Tuhan jauh meninggalkan kita. Pengalaman seperti ini menjadi bagian yang harus dihadapi oleh semua orang yang mengimani Tuhan. Seringkali kita merasa bahwa Tuhan abai atau absen saat kita membutuhkan pertolongannya, bahkan Yesuspun pernah merasakan absennya Sang Bapa pada saat Ia mengalami puncak penderitaanNya di kayu salib.

Eloi, Eloi lama sabakhtani. Yesuspun merasakan kegelapan sukma justru di saat penderitaanNya mencapai titik kulminasi. Pada saat Yesus memasuki kegelapan sukma kodrat kemanusiaanNya mencapai kepenuhannya. Dosa-dosa seluruh umat manusia ditimpakan padaNya kala teriakanNya memecah keheningan dan ketertegunan orang-orang yang berdiri menatapNya. Mengapa Allah Bapa tega meninggalkan Anak yang dikasihiNya? Kemanusiaan atau kedagingan yang penuh dosa menjadi sebab mengapa Allah Bapa menolak Yesus. Tapi Yesus dengan kemanusiaannya malah mengambil alih dosa-dosa manusia tersebut.

Saat kita mengakui dan menerima Yesus sebagai juruselamat kita, kita dihadapkan pada pada sebuah tawaran untuk menyangkal diri dan memikul salib. Artinya bahwa kita harus menjalani proses yang sama dengan apa yang dialami oleh Yesus yaitu memanggul salib kita masing-masing, menghadapi dan menjalani kekosongan, kekeringan, kesendirian dan ketersiksaan. Segala penderitaan yang kita alami dan kita rasakan telah menjadi semacam minyak yang membuat pelita Yesus tetap bernyala, Ibu Teresa dalam sebuah tulisannya menulis:
“Jagalah nyala pelita itu, yang telah disulut oleh Yesus dalam diri Anda dengan minyak kehidupan Anda. Nyeri di punggung Anda – penderitaan yang Anda rasakan adalah tetes-tetes minyak untuk membuat pelita Yesus tetap bernyala untuk mematahkan mantra kegelapan dosa ke mana pun Anda pergi. Jangan berbuat apa pun yang akan menambah rasa nyeri-terima saja dengan senyum lebar betapapun sedikit yang Ia berikan dengan cintaNya yang besar. Pelita itu telah dinyalakan Yesus pada saat kita memilih untuk mengikutiNya”.

Kala menelusuri kegelapan yang sarat dengan derita yang mencekam dan berkepanjangan, Ibu Teresa tetap teguh dan setia pada panggilannya, mempersembahkan diri tanpa henti dan dengan segala keceriaannya pada misi yang dipercayakan kepadanya. Ia tetap teguh dengan segala daya untuk menunjukkan cintanya kepada Yesus, kekasih jiwanya dan untuk memberikan suka cita kepadaNya melalui semua yang ia perbuat kendati harus mengatasi kepedihan karena rasa “tidak dicintai dan tidak diinginkan” oleh Yesus

Kembali kepada jalan penderitaan Yesus menuju Kalvari ada hal yang menjadikan Yesus kemudian berbeda dari manusia pada umumnya, sesudah pertanyaan gugatan terlontar nyaring dari mulutnya kalimat yang berikutnya terucap dengan lirih dari mulutNya adalah: “Ke dalam tanganMu Kuserahkan jiwaku”. Dan setelah itu Ia wafat di kayu salib. Kepasrahan total, setia hingga akhir.